Rabu, 13 Juni 2012

Mendengar Vonis Kematian!

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 1 MARET 2011)
Kawan Fulan baru saja divonis dokter menderita penyakit AIDS. Lemah sudah badannya mendengar perkataan yang mengerikan itu. Rasa mau lepas semua persendian badan. “Oh…Tuhan. Malang nian nasib aku,” keluhnya.
Entah kenapa tatkala itu tercap, Fulan dengan sigap memegang pundak sang teman. Lalu Fulan bercerita soal Dr. Randy Pausch, dosen komputer di University of Virginia, Amerika Serikat. Tahun 2006 lalu, ayah tiga anak bergelar Ph.D ini didiagnosis menderita kanker pankreas akut. Sebuah operasi bedah yang dilakukan pada tanggal 19 September 2006 gagal menyembuhkan kanker tersebut. Di bulan Agustus 2007, Dr. Pausch harus menerima kenyataan pahit bahwa meski dari luar fisiknya tampak sempurna, namun kankernya sudah sangat ganas dan hidupnya tinggal tersisa tiga hingga enam bulan lagi. Orang kebanyakan mungkin akan patah arang dan meratapi nasibnya, tetapi tidak dengan Randy.
Ia mulai menyiapkan sebuah pidato tentang mengejar cita-cita dalam hidup. Mengejar Lentera Jiwa. Ia ingin agar orang-orang melihat betapa seorang Randy Pausch yang hidupnya akan segera merakhir pun masih penuh semangat dan determinasi untuk membuat hidupnya berarti, dan ia ingin agar orang-orang terinspirasi untuk mengejar cita-cita mereka masing-masing. Pada tanggal 18 September 2007, ia memberikan pidatonya di Carnegie Mellon University, tempat ia mendapatkan gelar doktornya. Dalam waktu singkat, kisah mengharukan Randy Pausch menyebar ke seantero Amerika. Rekaman pidato bertajuk "The Last Lecture" tersebut telah ditonton sebanyak lebih dari enam juta kali di Youtube. Sebulan kemudian, ia tampil di Oprah, membawakan versi pendek dari pidatonya tersebut. Tanggal 25 Juli 2008, Dr. Randy Pausch meninggal dunia di usia 48 tahun.
Dia pernah berkata suatu kali,  “Tembok penghalang berdiri disini karena suatu alasan,  bukan untuk menghalangi kita. Tembok ini ada untuk memberikan kita kesempatan untuk menunjukkan sekuat apa  kita menginginkan sesuatu.”
 Pada 15 Agustus 2007, Profesor Randy Pausch ditemani Jai pergi ke Houston untuk melihat hasil CT scan terakhir. Saat itu, dirinya harus menerima kenyataan pahit bahwa berbagai pengobatan yang dilakukan tak mampu menjinakkan kanker pankreas dalam tubuhnya.

Dokter mengatakan bahwa 10 tumor di levernya membuat hidup sang profesor hanya tersisa 3 hingga 6 bulan lagi. Dilihat secara fisik, Randy tampak baik-baik saja. Bahkan saat mengisi seri kuliah terakhir di Carnegie Mellon University (CMU), Randy melakukan push up bahkan  push up dengan satu tangan. Randy tentu saja tak ingin menerima penyakit mematikan tersebut, namun dia sadar bahwa dirinya tak kuasa untuk mengubahnya. “Kita tidak  bisa mengubah kartu-kartu yang dibagikan kepada kita, kecuali bagaimana cara kita memainkan,” ucap Randy.
Randy tak ingin terpuruk karena takdir. Ia tetap tegar dan tak patah semangat dalam menjalani sisa hidupnya. Buku “The Last Lecture” dikembangkan dari kuliah terakhir  yang diberikan oleh Randy Pausch pada 18 September 2007
di CMU, Pittsburgh, Pennsylvania.
Jeffrey Zaslow, seorang kolumnis bagi Wall Street Journal, membantu Randy untuk menuangkan kisah hidupnya dalam kumpulan kisah tertulis yang terbagi dalam enam bab. Ide membuat buku “The Last Lecture”ini muncul ketika Zaslow ikut menyaksikan kuliah terakhir yang menyentuh audience termasuk dirinya. Setiap pagi, Randy bersepeda sambil
menelepon Jeffrey Zaslow untuk  berbagi cerita yang hendak diwariskannya melaui headset ponselnya.
Randy lebih banyak berbagi kiat-kiat mengenai bagaimana ia benar-benarmewujudkan impian-impiannya semasa kecil. Randy membuat daftar impian mulai usia 8 tahun antara lain : melayang di udara, bermain di liga sepak bola nasional, menulis artikel tentang ensiklopedi buku dunia, menjadi Kapten Klirk, dan menjadi perekayasa di Walt Disney. Impiannya
bermain di National Football League tak bisa terwujud, namun Randy tak pernah berhenti bermain sepak bola sebagai hobinya. Bahkan dokter Mehmet Oz sering diajaknya bermain saat berkunjung ke rumah Randy.
Selain dapat mewujudkan impiannya sendiri, Randy juga membantu mewujudkan impian orang lain, salah satunya adalah Tommy. Tommy adalah mahasiswanya ketika masih mengajar di University of Virginia. Tommy ingin ikut mengerjakan film Stars Wars berikutnya. Dan itu impian Tommy saat berumur enam tahun. Tommy banyak belajar  tentang pemrograman realitas maya pada Randy dan selalu
ingat akan kata-kata yang pernah Randy ucapkan padanya hingga akhirnya, Tommy menjadi Direktur Teknis Utama  dalam Stars Wars Episode II : Attack of the Clones.
Randy juga bercerita tentang ayah dan ibunya yang  banyak memberikan pelajaran-pelajaran positif dalam hidupnya serta mendukungnya mewujudkan impian-impiannya. Ayahnya adalah seorang anggota korp medis
dalam Perang Dunia II yang ikut bertugas dalam Pertempuran Bulge. Ayahnya selalu memberikan nasihat tentang bagaimana menegoisasi hidup ini.Sementara ibunya adalah seorang guru bahasa Inggris yang selalu berusaha keras membuat anak-anak didiknya pandai. Orangtuanya mengajarkan Randy serta kakaknya untuk hidup hemat dan dermawan.
Ayahnya yang didiagnosa menderita leukemia pada usia 83 tahun mengatur agar tubuhnya disumbangkan untuk ilmu kedokteran. Lalu mengenai pertemuannya dengan Jai di University of North Carolina hingga pernikahan mereka yang dirayakan di halaman sebuah rumah bergaya Victoria di Pittsburgh.
Mereka membuat momen tersebut menjadi tak terlupakan dengan tidak menaiki mobil saat meninggalkan resepsi, namun dengan menaiki keranjang balon udara yang sangat besar dan berwarna-warni. Randy sangat mencintai dan menghargai Jai. Jai yang selama ini selalu menjadi penyemangatnya. Bahkan Randy tak bersedia menukar 8 tahun usia
pernikahan mereka dengan  apa pun juga. Pada pemberian kuliah yang terakhir,satu hari setelah ulang tahun Jai, Randy mengajak empat ratus orang yang datang untuk menyanyikan lagu “Happy Birthday to Jai”.
Mereka berpelukan dan berciuman. Selagi mereka berdekapan, Jai berbisik, “Tolong, jangan mati.”
Randy menjawab dengan memeluknya lebih erat. Banyak sekali yang ingin disampaikannya Randy  untuk anak-anaknya sebelum dirinya meninggal. Namun dengan usianya yang masih begitu kecil, mereka tentu tak mengerti dan tak bisa mengingatnya. Dylan masih berusia 6 tahun, Logan berusia 3 tahun, sedangkan Chloe berusia 8 bulan. Oleh karena itu, sebenarnya “The Last Lecture”
ini dipersiapkan untuk ketiga anaknya. Ia berharap pelajaran-pelajaran hidup yang
disampaikannya dapat  menjadi panduan bagi anak-anaknya untuk menjalani
hidup mereka tanpa kehadiran ayahnya secara fisik.
Randy mengungkapkan bahwa ia mempersiapkan “The Last Lecture” sebagai warisan bagi istri dan tiga anak-anaknya, Dylan, Logan, dan Chloe. Untuk ketiga anaknya, Randy ingin mereka menjadi apa yang mereka inginkan. Randy tahu mereka bisa menemukan jalan mereka sendiri dan berkembang dengan potensi
mereka masing-masing.
Buku “The Last Lecture” diterbitkan pertama kali pada tahun 2008 oleh Hyperion yang merupakan anak perusahaan Disney di bidang penerbitan. Alasan Randy memilih penerbit tersebut lantaran dirinya terlanjur jatuh
cinta pada Disney. Ufuk Publishing House membeli hak penerbitan buku ini pada Juni tahun 2008 dan menerbitkan “The Last Lesture” versi bahasa Indonesia.
Sang kawan termenung! Entahkah dia akan jadi Randyberikutnya? Hanya Tuhan yang tahun Tuan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar