Rabu, 13 Juni 2012

Pangeran yang Mati Miskin

on Tuesday, July 19, 2011 at 7:38am ·
(TULISAN INI DIPUBLIKASI DI HARIAN PAGI VOKAL)
Pernah Anda bertemu dengan anak angkat kepala di daerah ini? Jika pernah, Anda akan geleng-geleng kepala. Anak angkat saja sudah begitu sombongnya, apalagi anak kandung.
Ya begitulah! Kalau bapaknya bupati, ia lebih bupati dari bapaknya. Kalau bapaknya gubernur, ia lebih gubernur dari ayahnya. Main perintah dan serba mewah. Padahal bapaknya setiap kasih kata sambutan selalu tak lupa bicara kezuhudan dan tetek bengek nilai agama lainya.
Malah suatu hari, Fulan pernah mendengar sang kepala daerah bercerita tentang putra Khalifah Harun Ar Rasyid yang datang ke istana ayahnya. Khalifah sedang duduk bersama ajudan pribadinya, para pejabat dan tamu-tamu terhormat lainnya. Sedangkan puteranya yang berumur 16 tahun itu berpakaian sangat sederhana, dengan sorban di kepalanya. Ketika orang-orang istana itu melihatnya demikian, mereka berkata, "Keadaan anak ini menghina Amirul Mukminin di hadapan para bangsawan, jika ia dapat memperingatkannya, mungkin anak itu akan menghentikan kebiasaannya."
Khalifah mendengar ucapan itu, maka ia berkata kepada anaknya, "Anakku sayang, engkau telah mempermalukanku di hadapan para bangsawan."
Anak itu tidak berkata sepatah katapun atas ucapan ayahnya. Bahkan ia memanggil seekor burung yang bertengger di dekat situ, "Wahai burung, aku memohon kepadamu, demi Dzat yang menciptakanmu, datanglah dan duduklah di atas tanganku."
Burung itu terbang menghampirinya dan hinggap di atas tangannya. Kemudian anak itu menyuruhnya terbang lagi, dan burung itu pun terbang lagi ke tempat semula. Kemudian ia berkata kepada ayahnya, "Ayahku sayang, sesungguhnya kecintaanmu kepada dunia inilah yang memalukan diriku. Aku telah memutuskan untuk berpisah denganmu." Setelah berkata demikian, ia pergi hanya berbekal Al Quran saja.
Ketika ia memohon pamit kepada ibunya, ibunya memberi sebuah cincin yang sangat indah dan mahal, (agar ia dapat menjualnya jika ia memerlukan uang). Anak laki-laki itu pergi ke Basrah, dan bekerja bersama para buruh. Namun ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan ia gunakan upahnya sehari untuk satu minggu, dengan menggunakan (satu danaq) seperenam dirham setiap hari.
Kisah selanjutnya diceritakan oleh Abu Amir Basri., ia berkata, "Pada suatu ketika, sebelah dinding rumahku roboh dan aku membutuhkan seorang tukang batu untuk memperbaikinya. Ada seseorang yang memberitahuku bahwa ada seorang anak laki-laki yang dapat mengerjakan pekerjaan tukang batu. Maka akupun mencarinya. Di luar kota, aku melihat seorang pemuda tampan sedang duduk di tanah sambil membaca Alquran dengan sebuah tas di sisinya. Aku menanyainya, apakah ia mau bekerja sebagai buruh? Ia menjawab, "Tentu, kita telah diciptakan untuk bekerja. Pekerjaan apakah yang tuan inginkan untukku?"
Kukatakan bahwa aku membutuhkan seorang tukang batu untuk mengerjakan bangunan. Ia berkata, "Aku mau asalkan upahku satu dirham dan satu danaq sehari. Dan aku akan berhenti kerja dan pergi ke masjid bila tiba waktu shalat, kemudian kulanjutkan pekerjaan tersebut setelah shalat." Aku menyetujuinya.
Akhirnya ia ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu. Pada sore harinya, aku kembali, dan aku sangat terkejut melihat bahwa ia telah melakukan pekerjaan seperti sepuluh orang tukang batu yang mengerjakannya. Akupun memberinya dua dirham. Tetapi ia menolak upah yang melebihi satu dirham dan satu danaq. Kemudian ia pergi hanya dengan upah yang telah disetujui.
Keesokan paginya, aku pergi lagi mencarinya, tetapi aku diberi tahu bahwa ia hanya bekerja pada hari Sabtu saja. Dan tiada seorangpun yang dapat menemukannya pada hari-hari lainnya. Karena aku sangat puas dengan pekerjaannya, maka kuputuskan untuk menunda pembangunan dindingku pada Sabtu depan. Pada hari Sabtu itu, aku mencarinya lagi dan kudapati ia di tempat yang sama sedang membaca Aquran sebagaimana biasa. Aku mengucapkan salam kepadanya, "Assalamu Alaikum."
"Wa Alaikumus Salam." Balasnya.
Ia bersedia bekerja lagi untukku dengan syarat yang sama. Ia pun ikut bersamaku dan mulai mengerjakan dinding itu lagi.
Disebabkan rasa heranku, bagaimana ia dapat mengerjakan pekerjaan sepuluh orang pekerja seorang diri seperti pada hari Sabtu yang lalu, maka akupun mengintipnya bekerja tanpa sepengetahuannya. Aku melihatnya dengan sangat takjub, bahwa ketika ia meletakkan adukan semen di dinding, maka batu-batu itu dengan sendirinya menyatu. Akhirnya aku sadar dan meyakini bahwa anak itu adalah kekasih Allah Swt. Sebagaimana hamba-hamba-Nya yang khusus saja yang mendapatkan pertolongan ghaib seperti itu dari Allah Swt.
Sore harinya, aku ingin memberinya tiga dirham, tetapi ia hanya mengambil satu dirham dan satu danaq kemudian pergi, sambil berkata, "Aku tidak membutuhkan lebih dari ini."
Sungguh cerita itu hanya enak didengar dan tidak enak dipraktekan oleh keluarga sang pejabat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar