(TULISAN INI MENGHIASI HALAMAN 2 HARIAN PAGI VOKAL)
Membaca
kitab kesetiaan, jelas Fulan terluka. Hatinya selalu bercabang manakala
bicara cinta. Perasaan belum satu soal rasa. Makanya hati sering
nelangsa, berseri dan nelangsa lagi. Begitu terus.
Ketika dia
membaca kisah keutuhan cinta sepasang anak manusia, badannya agak
menggigil. Apakah lantaran Fulan baru saja mendapat kabar, seorang kawan
baru saja bercerai? Atau di dalam hati Fulan, masih ada bibit
kesetiaan? Entahlah Buyung!
Ini kisah yang mengharukan itu Tuan
yang dikirim seorang kawan! Ketika aku berjalan kaki pulang ke rumah di
suatu hari yang dingin, kakiku tersandung sebuah dompet yang tampaknya
terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya. Aku memungut dan melihat isi
dompet itu kalau-kalau aku bisa menghubungi pemiliknya. Tapi, dompet itu
hanya berisi uang sejumlah tiga Dollar dan selembar surat kusut yang
sepertinya sudah bertahun-tahun tersimpan di dalamnya. Satu-satunya yang
tertera pada amplop surat itu adalah alamat si pengirim. Aku membuka
isinya sambil berharap bisa menemukan petunjuk.
Lalu aku baca
tahun “1924″. Ternyata surat itu ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu.
Surat itu ditulis dengan tulisan tangan yang anggun di atas kertas biru
lembut yang berhiaskan bunga-bunga kecil di sudut kirinya. Tertulis di
sana, “Sayangku Michael”, yang menunjukkan kepada siapa surat itu
ditulis yang ternyata bernama Michael. Penulis surat itu menyatakan
bahwa ia tidak bisa bertemu dengannya lagi karena ibu telah melarangnya.
Tapi, meski begitu ia masih tetap mencintainya. Surat itu
ditandatangani oleh Hannah. Surat itu begitu indah.
Tetapi tetap
saja aku tidak bisa menemukan siapa nama pemilik dompet itu. Mungkin
bila aku menelepon bagian penerangan mereka bisa memberitahu nomor
telepon alamat yang ada pada amplop itu. “Operator,” kataku pada bagian
peneragan, “Saya mempunyai permintaan yang agak tidak biasa. Sedang
berusaha mencari tahu pemiliki dompet yang saya temukan di jalan.
Barangkali anda bisa membantu saya memberikan nomor telepon atas alamat
yang ada pada surat yang saya temukan dalam dompet tersebut?”
Operator
itu menyarankan agar aku berbicara dengan atasannya, yang tampaknya
tidak begitu suka dengan pekerjaan tambahan ini. Kemudian ia berkata,
“Kami mempunyai nomor telepon alamat tersebut, namun kami tidak bisa
memberitahukannya pada Anda.” Demi kesopanan, katanya, ia akan
menghubungi nomor tersebut, menjelaskan apa yang saya temukan dan
menanyakan apakah mereka berkenan untuk berbicara denganku. Aku menunggu
beberapa menit.
Tak berapa lama ia menghubungiku, katanya, “Ada
orang yang ingin berbicara dengan Anda.” Lalu aku tanyakan pada wanita
yang ada di ujung telepon sana, apakah ia mengetahui seseorang bernama
Hannah. Ia menarik nafas, “Oh, kami membeli rumah ini dari keluarga yang
memiliki anak perempuan bernama Hannah. Tapi, itu 30 tahun yang lalu!”
“Apakah Anda tahu dimana keluarga itu berada sekarang?” tanyaku. “Yang
aku ingat, Hannah telah menitipkan ibunya di sebuah panti jompo beberapa
tahun lalu,” kata wanita itu. “Mungkin, bila Anda menghubunginya mereka
bisa mencaritahu dimana anak mereka, Hannah, berada.” Lalu ia memberiku
nama panti jompo tersebut. Ketika aku menelepon ke sana, mereka
mengatakan bahwa wanita, ibu Hannah, yang aku maksud sudah lama
meninggal dunia. Tapi mereka masih menyimpan nomor telepon rumah dimana
anak wanita itu tinggal. Aku mengucapkan terima kasih dan menelepon
nomor yang mereka berikan. Kemudian, di ujung telepon sana, seorang
wanita mengatakan bahwa Hannah sekarang tinggal di sebuah panti jompo.
“Semua
ini tampaknya konyol,” kataku pada diriku sendiri. Mengapa pula aku mau
repot-repot menemukan pemilik dompet yang hanya berisi tiga Dollar dan
surat yang ditulis lebih dari 60 tahun yang lalu? Tapi, bagaimana pun
aku menelepon panti jompo tempat Hannah sekarang berada. Seorang pria
yang menerima teleponku mengatakan, “Ya, Hannah memang tinggal bersama
kami.” Meski waktu itu sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku meminta
agar bisa menemui Hannah. “Ok,” kata pria itu agak bersungut-sungut,
“bila Anda mau, mungkin ia sekarang sedang menonton TV di ruang tengah.”
Aku
mengucapkan terima kasih dan segera berkendara ke panti jompo tersebut.
Gedung panti jompo itu sangat besar. Penjaga dan perawat yang berdinas
malam menyambutku di pintu. Lalu, kami naik ke lantai tiga. Di ruang
tengah, perawat itu memperkenalkan aku dengan Hannah. Ia tampak manis,
rambut ubannya keperak-perakan, senyumnya hangat dan matanya
bersinar-sinar. Aku menceritakan padanya mengenai dompet yang aku
temukan. Aku pun menunjukkan padanya surat yang ditulisnya. Ketika ia
melihat amplop surat berwarna biru lembut dengan bunga-bunga kecil di
sudut kiri, ia menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Anak muda, surat
ini adalah hubunganku yang terakhir dengan Michael.” Matanya memandang
jauh, merenung dalam-dalam. Katanya dengan lembut, “Aku amat-amat
mencintainya. Saat itu aku baru berusia 16 tahun, dan ibuku menganggap
aku masih terlalu kecil. Oh, Ia sangat tampan. Ia seperti Sean Connery,
si aktor itu.” “Ya,” lanjutnya. Michael Goldstein adalah pria yang luar
biasa. “Bila kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku selalu
memikirkannya, Dan,…….”
Ia ragu untuk melanjutkan, sambil
menggigit bibir ia berkata, ……katakan, aku masih mencintainya. Tahukah
kau, anak muda,” katanya sambil tersenyum. Kini air matanya mengalir,
“aku tidak pernah menikah selama ini. Aku pikir, tak ada seorang pun
yang bisa menyamai Michael.” Aku berterima kasih pada Hannah dan
mengucapkan selamat tinggal. Aku menuruni tangga ke lantai bawah. Ketika
melangkah keluar pintu, penjaga di sana menyapa, “Apakah wanita tua itu
bisa membantu Anda?” Aku sampaikan bahwa Hannah hanya memberikan sebuah
petunjuk, “Aku hanya mendapatkan nama belakang pemilik dompet ini. Aku
pikir, aku biarkan sajalah dompet ini untuk sejenak. Aku sudah
menghabiskan hampir seluruh hariku untuk menemukan pemilik dompet ini.
“Aku keluarkan dompet itu, dompat kulit dengan benang merah
disisi-sisinya. Ketika penjaga itu melihatnya, ia berseru, “Hei, tunggu
dulu. Itu adalah dompet Pak Goldstein! Aku tahu persis dompet dengan
benang merah terang itu. Ia selalu kehilangan dompet itu. Aku sendiri
pernah menemukannya dompet itu tiga kali di dalam gedung ini.”
“Siapakah
Pak Goldstein itu?” tanyaku. Tanganku mulai gemetar. “Ia adalah
penghuni lama gedung ini. Ia tinggal di lantai delapan. Aku tahu pasti,
itu adalah dompet Mike Goldstein. Ia pasti menjatuhkannya ketika sedang
berjalan-jalan di luar.” Aku berterima kasih pada penjaga itu dan segera
lari ke kantor perawat. Aku ceritakan pada perawat di sana apa yang
telah dikatakan oleh si penjaga. Lalu, kami kembali ke tangga dan
bergegas ke lantai delapan. Aku berharap Pak Goldstein masih belum
tertidur. Ketika sampai di lantai delapan, perawat berkata, “Aku pikir
ia masih berada di ruang tengah. Ia suka membaca di malam hari. Ia
adalah Pak tua yang menyenangkan.” Kami menuju ke satu-satunya ruangan
yang lampunya masih menyala. Di sana duduklah seorang pria membaca buku.
Perawat mendekati pria itu dan menanyakan apakah ia telah kehilangan
dompet. Pak Goldstein memandang dengan terkejut. Ia lalu meraba saku
belakangnya dan berkata, “Oh ya, dompetku hilang!” Perawat itu berkata,
“Tuan muda yang baik ini telah menemukan sebuah dompet. Mungkin dompet
Anda?” Aku menyerahkan dompet itu pada Pak Goldstein. Ia tersenyum
gembira. Katanya, “Ya, ini dompetku! Pasti terjatuh tadi sore. Aku akan
memberimu hadiah.” “Ah tak usah,” kataku. “Tapi aku harus menceritakan
sesuatu pada Anda. Aku telah membaca surat yang ada di dalam dompet itu
dengan harap aku mengetahui siapakah pemilik dompet ini.”
Senyumnya
langsung menghilang. “Kamu membaca surat ini?” “Bukan hanya membaca,
aku kira aku tahu dimana Hannah sekarang.” Wajahnya tiba-tiba pucat.
“Hannah? Kau tahu dimana ia sekarang? Bagaimana kabarnya? Apakah ia
masih secantik dulu? Katakan, katakan padaku,” ia memohon. “Ia baik-baik
saja, dan masih tetap secantik seperti saat Anda mengenalnya,” kataku
lembut. Lelaki tua itu tersenyum dan meminta, “Maukah Anda mengatakan
padaku dimana ia sekarang? Aku akan meneleponnya esok.” Ia menggenggam
tanganku, “Tahukah kau anak muda, aku masih mencintainya. Dan saat surat
itu datang hidupku terasa berhenti. Aku belum pernah menikah, aku
selalu mencintainya.”
“Michael,” kataku, “Ayo ikuti aku.” Lalu
kami menuruni tangga ke lantai tiga. Lorong-lorong gedung itu sudah
gelap. Hanya satu atau dua lampu kecil menyala menerangi jalan kami
menuju ruang tengah di mana Hannah masih duduk sendiri menonton TV.
Perawat mendekatinya perlahan.
“Hannah,” kata perawat itu lembut.
Ia menunjuk ke arah Michael yang sedang berdiri di sampingku di pintu
masuk. “Apakah Anda tahu pria ini?” Hannah membetulkan kacamatanya,
melihat sejenak, dan terdiam tidak mengucapkan sepatah katapun. Michael
berkata pelan, hampir-hampir berbisik, “Hannah, ini aku, Michael. Apakah
kau masih ingat padaku?” Hannah gemetar, “Michael! Aku tak percaya.
Michael! Kau! Michaelku!” Michael berjalan perlahan ke arah Hannah.
Mereka lalu berpelukan. Perawat dan aku meninggalkan mereka dengan air
mata menitik di wajah kami. “Lihatlah,” kataku. “Lihatlah, bagaimana
Tuhan berkehendak. Bila Ia berkehendak, maka jadilah.”
Sekitar
tiga minggu kemudian, di kantor aku mendapat telepon dari rumah panti
jompo itu. “Apakah Anda berkenan untuk hadir di sebuah pesta perkimpoian
di hari Minggu mendatang? Michael dan Hannah akan menikah!” Dan
pernikahan itu, pernikahan yang indah. Semua orang di panti jompo itu
mengenakan pakaian terbaik mereka untuk ikut merayakan pesta. Hannah
mengenakan pakaian abu-abu terang dan tampak cantik. Sedangkan Michael
mengenakan jas hitam dan berdiri tegak. Mereka menjadikan aku sebagai
wali mereka. Rumah panti jompo memberi hadiah kamar bagi mereka.
Dan
bila Anda ingin melihat bagaimana sepasang pengantin berusia 76 dan 79
tahun bertingkah seperti anak remaja, Anda harus melihat pernikahan
pasangan ini. Akhir yang sempurna dari sebuah hubungan cinta yang tak
pernah padam selama 60 tahun. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar