Rabu, 30 Mei 2012

Air Mata Seorang Menteri

on Thursday, January 28, 2010 at 7:26pm ·

Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar menangis tatkala menemukan seorang bocah ditahan di Rutan Kelas II Pekanbaru. Ia terharu. Anak sekecilmu nak, sudah masuk penjara lantaran mencuri handphone. Masa kanak-kanakmu terampas di hotel prodeo.
Sosok politisi dari Partai Amanat Nasional ini memiliki emosi air mata. Entah kenapa hatinya terenyuh mendapati bocah kecil itu? Apakah ia merasakan relung kesedihan paling dalam dari sisi seorang anak?
Di lain waktu dan tempat, Patrialis Akbar merupakan tokoh yang terang-terangan membela kasus SBY. Maklum mental seorang pembantu. Belum lagi apa-apa, ia sudah menyimpulkan sang atasannya itu tidak bersalah. Dalam kasus kriminilasi pimpinan KPK, Chandra dan Bibit, malah Patrialis mengatakan, seujung kuku pun SBY tidak terlibat. Kendati dikemudian hari, nama SBY dicatut oleh Anggodo.
Begitu juga dengan kasus Bank Century, lagi-lagi Patrialis Akbar mengatakan, satu sen pun SBY tidak menerima. Kasus menghebohkan itu sekarang bergulir jadi kunyah-kunyah pansus di parlemen.
Yang menarik di sini adalah, betapa lembutnya hati seorang menteri yang bernama Patrialis Akbar. Dan begitu kokohnya pendirian dan sikapnya tatkala membela atasan yang notabene orang berkuasa di republik ini.
Hatinya begitu dekat dengan penderitaan rakyat kecil. Sebagai menteri, ia melihat ada yang kurang beres dengan penegakan hukum. Perkara sepele, polisi dan jaksa begitu bernafsu menyeret tersangka. Tiba di pengadilan, hakim melempaskan pula hasrat untuk ‘menghajar’ kaum papa atas nama hukum.
Penegakan hukum, kata filusuf Yunani Anacharsis, tak ubahnya seperti jaring laba-laba. Lazimnya jarring laba-laba hanya bisa menangkap capung, kupu-kupu, lalat, dan serangga kecil lainnya. Tapi kalau yang menerobos adalah burung, kelelawar, dan binatang besar lain, ia rusak. Tercabik-cabik!
Seiring dengan itu seorang sosiolog hukum, Donald Black (1960), dalam bukunya yang sangat terkenal The Behavior of Law, orang-orang besar -yang memiliki kekuasaan politik dan uang-cenderung sangat susah untuk diadili atau dihukum. Kalau pun diadili, cenderung berusaha untuk mencari-cari celah yang ada agar terlepas dari jeratan hukum.
Pertanyaan berikutnya, apakah Patrialis Akbar pernah menangis ketika hukum yang diibaratkan seperti jaring laba-laba itu tercabik-cabik oleh dedengkot negeri? Pernahkah air matanya mengalir atas petaka keadilan? Atau hanya ia bersedih melihat orang rendahan dihukum tak layak, tapi perasaannya tak tersentuh ketika orang kuat mempermainkan hukum? Entahlah Bujang! **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar