Rabu, 30 Mei 2012

Balada Jendela Dunia di Dumai

on Wednesday, March 17, 2010 at 8:12pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian vokal dan riauhariini.com)

Kata sejumlah warga dan pengelola Pustaka Daerah Kota Dumai, warga kurang kenal dengan jendela dunia (sebutan untuk pustaka) yang terletak dekat RSUD Dumai. Lantaran itu tak seberapa yang datang dan meminjam. Kalau pun ada, paling mereka membaca komik.
Selaras dengan fenomena tersebut, penyair tersohor, Taufiq Islmail pernah bertanya-tanya; ”Mengapa para penumpang di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Mengapa di dalam angkot di Bandung, penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok? Mengapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya, tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar-Banda Naira penumpang tidak membaca kumpulan buku puisi, tapi main domino? Kenapa susah mendapat calon pegawai tamatan S-1 yang mampu menulis proposal yang bagus atau rencana kerja yang baik? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama, tapi asyik main SMS? Mengapa jumlah total pengarang di Indonesia hanya cocok untuk negara berpenduduk 20 juta, bukan 200 juta?”
Di Amerika sana, ada pula sebuah kisah. Seorang anak 12 tahun ‘melahap’ lima judul buku sehari. Namanya Millie. Dia dapat membaca cepat sekali. Dia telah selesai membaca buku Markham Real American Romance sejumlah 13 jilid dalam seminggu. Buku telah jadi kebutuhan. “Saya ingin membaca lima judul buku sehari jika tidak terpaksa harus pergi ke sekolah”.
Itu reading habit (minat baca) warga negara Paman Sam. Itu keluhan seorang penyair. Namun perlu diketahui ini Dumai. Ini Riau. Di sini orang lebih suka berkoar di kedai sembari minum kopi. Membual tanpa referensi ilmiah. Tradisi ini berlanjut dari generasi ke generasi.
Lantas bagaimana pula mengharapkan orang datang ke pustaka, sementara manisnya kopi tak bisa dilupakan. Lalu ada pula adagium barangkali menyesatkan, berdiskusi di kedai sudah sama bobot ilmunya dengan S3. Berbahaya bukan.
Dalam sebuah tulisan ditemukan akar masalah rendahnya minat baca di negeri ini. Yang berkembang adalah budaya menonton. Kita senang menonton televisi, tanpa melalui tahap masyarakat gemar membaca. Dalam hal ini ada benarnya tesis pemikiran Neil Postman yang mengatakan bahwa dunia hiburan dapat membangkrutkan budaya sebuah bangsa, terutama bangsa dengan tradisi membaca yang lemah. Kondisi itu diperburuk semakin tidak pedulinya orang tua akan kegiatan membaca. Semakin banyak keluarga yang kedua orang tuanya sibuk bekerja sehingga mereka tidak lagi mempunyai cukup waktu dan energi untuk mendekatkan anaknya dengan buku. Ironisnya, ketika anak mulai masuk sekolah, materi baku kurikulum sering membuat guru tidak mempunyai ruang gerak untuk berkreasi. Akhirnya, mereka hanya terpaku pada satu buku wajib.
Ingatlah sabda nabi wahai Tuan dan Puan; “Kalau kalian ingin mengusai dunia dan akhirat kuasailah ilmu.”
Lantas cerna pula, pendapat seniman Francis Bacon; Sesorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan yang luas, membuatnya menjadi manusia yang utuh, sedangkan orang yang gemar berdiskusi membuat orang harus siap memberikan jawaban atau mengajukan pertanyaan, dan orang yang gemar menulis membuatnya menjadi mansia yang cermat. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar