Rabu, 30 Mei 2012

Ketika Orang Miskin Enteng Dirayu

on Thursday, March 18, 2010 at 7:36pm ·
(tulisan ini disebarluaskan harian Vokal dan riauhariini.com)

Barangkali karena miskin, banyak orang termakan bujuk rayu. Hati mudah percaya dengan tawaran pekerjaan. Kendati tawaran itu hanya tipu daya, kondisi kepapaan membuat diri tidak ragu.
Begitulah nasib banyak perempuan di kampung. Setidak-tidaknya demikian potret enam perempuan dari sebuah desa Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Perempuan tersebut dijual dan dipaksa jadi pelacur. Uang yang diharapkan, harga diri yang hilang.
Ada pituah bijak; "Hanya orang miskin yang ingat akan kemiskinan." Sayangnya lagi kata sejarahwan, Muhammad Sobary, kemiskinan makin merajalela, seperti rumput ilalang. Dibabat pagi, sore tumbuh lagi, dibabat sore, pagi tumbuh lagi. Rezim demi rezim penguasa mencoba melawannya, tetapi kemiskinan tetap di tempat semula.
Jadi kalau pemimpin negara melupakannya itu biasa. Dan kalau orang kaya di masyarakat tak peduli akan orang miskin itu pun sudah "kodrat" kulturalnya memang begitu.
Alih-alih bicara penderitaan orang miskin dengan seabrek sebab-musababnya, ada pula orang kaya merasa hidupnya terpenjara dengan kekayaan. Jiwanya merasa miskin dengan segala tumpah ruah harta benda. Selaras dengan kata Ghandi, negarawan India, accumulation of wealth is accumulation of sin (tumpukan kekayaan adalah tumpukan dosa).
Dalam sejarah Islam, ada balada orang kaya dan orang miskin yang jiwanya berkebalikan. Ibrahim bin Adham bukan hanya kaya raya. Ia seorang raja. Tetapi, ia merasa tak nyaman dalam kekayaannya. Takut tumpukan kekayaannya hanya akan menjadi tumpukan dosa. Maka ia pun hidup bersahaja sebagai sufi.
Ia pernah bertemu orang kaya yang menawarinya uang. Ia mau menerima uang itu kalau memang orang itu kaya.
"Jangan khawatir, aku kaya," kata orang itu.
"Berapa banyak kekayaannmu?"
"Lima ribu keping uang mas," jawab orang itu lagi.
"Kau ingin punya sampai seribu keping lagi?"
"Mau, kenapa tidak"
"Dan kau ingin punya dua kali lipat jumlah itu?"
"Tentu saja. Tiap orang juga begitu."
"Kalau begitu kau orang miskin. Kau lebih membutuhkan uang itu daripada aku. Simpanlah uang itu baik-baik, sampai uang itu menjadi dua kali lipat yang kau inginkan.
"Kebebasan hidupku membuat aku merasa cukup. Jadi, mustahil aku bisa menerima sesuatu dari orang seperti kamu, yang tiap saat ingin memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi."
Dalam keseharian, ada pengalaman empiris. Seorang saudagar kaya raya punya karakter sosial. Kata orang, tauhid sosialnya begitu kuat. Setiap orang minta pertolongan, dibantunya. Siapa pun orang itu. Setiap hari suci umat Islam, ada tradisi menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Memberikan makanan dan buah-buahan.
Inilah mungkin orang kaya berjiwa dermawan. Tipikal orang yang tidak mengingkari berkah Tuhan. Pribadi yang memahami benar bahwa tumpukan kekayaan menjadi tumpukan dosa bila jiwa miskin. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar