Rabu, 30 Mei 2012

Gelombang Pemilih Antipercaya Kandidat

on Tuesday, December 22, 2009 at 9:45am ·

Seberapalah kualitas demokrasi pada momen Pemilu Kada Kota Dumai periode 2010-2015 jika pemilih tak percaya kandidat? Kandidat pun tidak sepenuhnya pula menyakini basa-basi pemilih? Sepertinya, baik pemilih maupun kandidat lebih mempercayai materi? Persetan dengan figur! Omong kosong dengan surat pernyataan dukungan! Materi menjadi patokan kecenderungan bahasa dukungan pemilih. Uang sebagai magnet untuk menjatuhkan pilihan. Bantuan materi tampaknya menjadi barometer untuk menyebut siapa yang pantas diomongin sebagai calon kepala daerah yang layak pilih. Kayaknya, uang menjadi dewa dan bantuan menjadi berhala perhelatan demokrasi kali ini.
Memang tak sepenuhnya begitu, seperti tak semuanya pula orang memilih karena keterpesonaan akan kandidat atau imbas kecerdasan calon. Setidak-tidaknya dari ratusan ribu lebih pemilih, ada gelombang pemilih antipercaya orang yang diusung partai untuk memimpin negeri ini. Ada kelompok masyarakat yang tidak bisa yakin begitu saja pada pasangan calon yang bakal bertarung memperebutkan kursi kekuasaan.
Inilah fenomena menjelang pesta demokrasi Pemilihan Walikota dan Wakil Wakil Walikota Dumai mendatang. Bilamana Tuan dan Puan jalan-jalan ke kantong-kantong masyarakat, terdengarlah bahasa bernada tidak percaya. Janji tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa dipegang. mereka tak butuh janji. Mereka perlu bukti. Ibaratnya cash and carry. Bayar dulu dengan bukti, baru dinyatakan dukungan.
Kalau mau membantu mobil ambulance, jangan cakap saja. Mana mobilnya. Kapan datangnya. Apakah tipenya sesuai dengan kesepakatan? Apakah kondisinya tidak lari dari pembicaraan awal? Manakala sudah di depan mata, baru bicara dukungan. Sepanjang belum bisa dilihat dan diraba serta serah terima surat-menyurat, mustahil berharap dukungan.
Bagi pemilih antipercaya kandidat, tidak zamannya lagi menceburkan diri pada keterlenaan rayuan kata-kata. Kata-kata indah tak lebih dari sekadar tipuan. Kata indah memukau massa dan ujungnya kecewa. Terlalu banyak pakar orasi, hanya membuat kapala pusing. Mereka butuh konstribusi nyata, bukan rangkaian kalimat yang menggugah.
Siapakah yang termasuk gelombang pemilih antipercaya kandidat? Siapa orang-orang yang memposisikan diri ke barisan orang yang tidak mau tertipu dengan janji? Mereka ada di organisasi-organisasi paguyuban. Mereka juga barangkali berjubah pimpinan lembaga informal masyarakat. Mereka juga ada di lembaga adat dan agama.
Lantas apa motivasi mereka? Apakah mereka tidak menginginkan pesta demokrasi ini berkualitas? Apakah mereka tidak menghendaki pencerahan dalam perhelatan pemilihan pimpinan negeri? Apakah mereka tidak mendambakan pencerdasan politik?
Entahlah Tuan dan Puan! Tapi di sudut kedai kopi, di tempat-tempat berkumpulnya petualang politik, di lembaga-lembaga masyarakat, sayup-sayup sampai terdengar, mereka ingin mendapatkan sesuatu. Bukan pencerdasan yang mereka cita-cita, melainkan materi. Materi yang mengalir, sebisa mungkin ke pundi pribadi. Tatkala tidak bisa, dimasukkan ke kantong organisasi. Nama organisasi yang digadaikan.
Lalu bagaimana pula dengan kandidat? Tampaknya, kandidat juga antipercaya pemilih. Jika berurusan dengan kucuran bantuan, tak serta merta bantuan diberikan begitu saja. Tak peduli bantuan itu untuk pembangunan rumah ibadah atau bangunan pendidikan. Kala bantuan dikasih, saat itu kesepakatan dibuat. Ada sumbangsih suara yang diharapkan. Ada pengikat pemberi suara yang ditekankan. Klausal kesepakatan tak berhenti sampai di situ saja. Manakala suara yang dijanjikan tidak tercapai, di sinilah konsekuensi kesepakatan berbicara. Makanya tak heran, bila pemilihan selesai, seiring dengan itu terdengar pula ada sengketa pendukung dengan kandidat, paling tidak tim sukses dengan pemilih.
Tragisnya lagi, di balik gelombang antipercaya, lahir pula generasi antipercaya dalam ketidakpercayaan. Mereka menjadikan Pemilu Kada sebagai ajang mencari sesuatu yang lebih besar manfaátnya. Mencari sesuatu yang nilai nominalnya agak besar. Ketika semua sudah berkontribusi, bukannya pemberian yang kecil itu dipulangkan, melainkan diamankan semua.
Tuan dan Puan! Kalau begini adanya, janganlah bicara tentang demokrasi yang sesungguhnya. Kalau benar ada gelombang pemilih antipercaya kandidat, tak tepatlah kita bicara pemilih yang menggunakan hak politiknya dengan basis nurani. Barangkali tepatnya kita bicara tentang Pemilu Kada sebagai ajang dagang politik. Momen demokrasi sebagai transaksi dukungan yang dibarter dengan uang atau bantuan lainnya.
Namanya dagang politik, di kemudian hari, pembeli tentu tidak mau merugi. Jangankan rugi, pulang pokok atau modal saja, mereka tak sudi. Eh…kalau begitu, tentu untung yang mereka cari. Berapa modalnya dikeluarkan untuk membeli dukungan, sejatinya nilai nominal yang didapat selama memangku jabatan, mesti berlipat ganda.
Alamat mengerikan kawan. Pemilih dan yang dipilih berserikat dalam dagang politik. Ujung-ujungnya, pantaslah kekhawatiran muncul. Khawatir negeri ini dijual. Curiga pembangunan dilaksanakan asal jadi. Bagaimana bisa membangun, sementara mereka memerintahkan dengan konsep memulangkan modal plus untung.
Inilah demokrasi kita Bung! Demokrasi berbasis dagang politik. Rakyat pintar mencari untung, pemimpin tak kalah pintar pula mencari laba. Muaranya, rakyat banyak jua yang sengsara. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar