Rabu, 30 Mei 2012

Lembaran Kitab Air Mata

on Sunday, December 20, 2009 at 10:46am ·

Tangis seorang kawan, Tuti Kartini pecah di suatu sore. Air matanya jatuh dalam pelukan seorang ibu paruh baya yang anaknya menderita tumor di kepala. Anak si ibu itu adalah bapak seorang bayi yang baru berumur dua bulan. Buah hati sedang lucu-lucunya, ia kena penyakit pula.
Penyakit membuat si bapak lemah. Ia tak kuasa mengendong buah hatinya. Jangankan untuk berdiri, duduk saja ia tak mampu. Jangankan untuk duduk secara sempurna, tidur pun ia sembari mengernyitkan alis lantaran rasa sakit yang tidak kecil.
Derita tak berhenti sampai di situ. Namanya penyakit harus diobati, tapi apa daya, keluarga si bapak tak punya uang untuk ke rumah sakit. Sakit fisik ditambah lagi dengan beban pikiran. Hanya air mata yang menjadi teman nestapa di keluarga itu. Sebentar-sebentar mereka menangis, tapi tangis mereka tak sebentar.
Tuti yang melihat kenyataan itu, menangis pula. Kitab air mata pun dibuka. Perasaan Tuti serta-merta membaca ayat-ayat hati. Setiap ia memandang si penderita, setiap itu pula perasaannya gundah gelana. Tiap ia memerhatikan bayi yang berumur bilangan hari itu, jiwa terenyuh dan emosinya diselimuti rasa iba. Malang benar nasibmu wahai si kecil, kamu baru melihat dunia, tapi bapakmu tidak berdaya. Lama juga peristiwa tangis berbalas tangis itu terjadi. Tuti menangis, si ibu juga menangis. Sementara bapak yang sakit, hanya bisa menghela nafas panjang sembari mata berair.
Itulah peristiwa kecil yang dialami seorang kawan beberapa hari yang lalu. Banyak tangis terdengar di bumi, tapi tangis Tuti adalah tangis berurai air mata. Air mata penyubur hati dan penawar duka. Sebuah tangis adalah basahan hidup, justru hidup dimulakan dengan tangis, dicela oleh tangis dan diakhiri dengan tangis.
Sesungguhnya manusia senantiasa dalam dua tangisan. Pecinta dunia menangis karena dunia hilang. Perindu akhirat menangis karena dunia datang. Jurnalis adalah orang bekerja dengan rindu akan kebenaran. Sebagaimana juga dikatakan Bill Kovach, kewajiban pertama jurnalisme itu pada kebenaran. Orang yang rindu kebenaran merupakan manusia yang mendambakan akhirat. Orang yang mendambakan akhirat adalah manusia yang hidup dengan menyelaraskan emosi dan logika.
Jurnalis yang berkutat dengan pencarian informasi, tapi tak mengusung spirit kebenaran, tangis menjadi barang langka. Air mata menjadi barang mahal. Mereka mengumbar tawa, namun miskin air mata. Hatinya tak lagi tersentuh melihat penderitaan orang lain. Jiwa mereka tandus untuk merasakan betapa pedih beban hidup yang menggurita orang kurang beruntung.
Menangislah wahai diri, agar senyumanmu banyak di kemudian hari. Kenangilah, sungai aliran air mata itu sebagai butiran rasa orang yang punya hati. Menangislah di sini, sebelum menangis di sana!
Selang satu hari, bapak itu pergi menemui Sang Khalik. Ia meninggal dalam ganasnya tumor menggerogoti kepalanya. Lembaran kitab air mata makin terkembang. Mata Tuti kian basah. Ia kembali menangis. Sebuah tangis yang bermula dari tersentuhnya dasar kemanusiaan. Selamat jalan kawan! (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar