Rabu, 30 Mei 2012

Ideologi Bukan Darah Perjuangan

on Thursday, March 4, 2010 at 7:52pm ·
(tulisan ini disebarluaskan oleh Harian Vokal dan riauhariini.com)

POLITIK itu barang dagangan Bung! Alat demokrasi tersebut bisa diperjualbelikan. Cocok harga, transaksi terjadi. Bilamana belum ada kesepahaman, pembeli akan mencari partai lain. Begitu juga dengan orang yang ingin memegang kuasa di partai, ia juga akan menawarkan kepada pembeli lain. Ia bernegosiasi dengan petualang politik.
Persetan dengan ideologi! Masa bodoh dengan nilai-nilai luhur perjuangan partai! Ideologi bukan darah perjuangan. Garis pemikiran partai bukan spirit gerak. Yang jadi ideologi adalah uang.
Inilah potret demokrasi kita Bung! Menjelang hiruk pikuk pemilihan kepala daerah di sejumlah kabupaten/kota, ada perilaku berdagang politik. Ada tabiat menjual dukungan politik. Ada kurenah memanfaatkan kalang kabutnya balon kepala daerah yang kesusahan dapat perahu politik.
Bagi politisi opotunis dan pragmatis, mereka seperti gaya makan ikan lele saja. Semakin keruh air, semakin bernafsu mereka makan. Semakin banyak balon, semakin tinggi harga jual selembar surat dukungan.
Tatkala pembeli dan penjual bertemu, percakapan dibuka dengan bahasa bernada ideal. Mereka tampak benar seolah-olah sedang memikirkan negeri ini. Mereka prihatin dengan segala persoalan yang menggerogoti. Saking idealnya pembicaraan, mereka seperti malaikat yang tidak butuh uang. Mereka seperti dewa yang tidak butuh makan.
Tapi berselang pembicaraan berlangsung 10 menit, mulai kelihatan warna sebenarnya. Siapa sebetulnya orang-orang yang menyebut dirinya elit politik, ketahuan belangnya. Sesungguhnya, mereka bukan memikirkan negeri. Mereka bukan memperjuangkan nasib orang banyak, melainkan berdagang politik, seperti berdagang cabe. Mereka tawar-menawar. Sang pembeli menyodorkan harga tinggi, sang pembeli menawar dengan harga rendah.
Penjual butuh uang, pembeli butuh partai sebagai kendaraan menuju kekuasaan. Satu dengan yang lain, mengerti benar dengan kebutuhan dan kepentingan masing-masing. Lantaran itu, tawar-menawar menjadi fenomena yang menarik. Yang satu membanting harga dan yang lain menaikan harga.
Kita pantas sedih Bung! Inilah karakter petinggi kita. Mereka serigala berbulu domba. Katanya mereka memperjuangkan nasib orang banyak, tetapi yang benar mengejar kepentingan pribadi. Kita tertipu. Apakah kita selamanya mau ditipu? Entahlah! Atau jangan-jangan kita sendiri yang dimaksud serigala itu. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar