Rabu, 30 Mei 2012

Ketika Anak Didik Beli Seks

on Sunday, February 21, 2010 at 3:57pm ·
(tulisan ini disebarluaskan Harian Vokal)

Seks bisa Anda beli, tetapi tidak demikian halnya dengan cinta. Begitu pituah orang bijak sejak dahulu kala. Lantas siswa di Kabupaten Pelalawan melakukan hal yang pertama. Anak didik di negeri Melayu membeli kenikmatana surga dunia yang di jejalkan di jalan raya kabuptane tersebut.
Karena dinilai sumbang dan membahayakan, serta-merta sejumlah pejabat di sana kasak-kusuk. Ada yang menyalahkan, ada pula yang mencaci-maki. Ada yang ingin menghukum pelacur dan tidak sedikit pula yang berkehendak memberi sanksi terberat bagi pelajar. Remaja tak elok bermain mesum dengan wanita tuna susila atau dengan siapa pun. Belum masa melakukan itu, apalagi secara tak halal.
Persetan dengan kamuflase pejabat tersebut. Poin penting bukan berbahasa seolah-olah kita benci dengan kemaksiatan. Tetapi benar-benar memahami bahwa fakta itu benar-benar sebagai sesuatu yang mesti dienyahkan. Jangan di mulut, begitu bengis, tetapi dibelakang jadi penikmat. Lain di mulut, lain pula perbuatan. Bukankah negeri ini sepertinya banyak dihuni oleh sosok yang berkarakter demikian.
Kalau nasi sudah jadi bubur, kalau anak didik sudah bercinta dengan cara yang tidak benar, barangkali lebih bagus ajarkan benar mereka tentang hakikat cinta. Bukan praktik bercinta. Bukalah lembaran kisah Laila dan Majnun. Sampaikan kepada mereka, bahwa seorang sufi agung, Hakim Nizhami telah menulis perkara yang syahdu ini.
Bagaimana cinta bisa menjelma menjadi energi yang tiada habisnya? Qais, yang kemudian dikenal sebagai Majnun, membuktikan itu semua. Qais mencintai Laila sepenuh hati. Ketika orang tua Laila menghalangi cinta mereka, Qais bukannya mundur malah ia berubah menjadi Majnun, pecinta yang tergila-gila pada Laila sehingga hidupnya berubah total.
Cinta tak mengenal lelah, bagaimana lapar dan dahaga tak dihiraukan oleh Majnun, bagaimana energi cinta yang dihasilkan Majnun mampu menundukkan segenap binatang buas di hutan tempat persembunyiannya. Loyalitas Laila pun tak bergoyang meskipun ayahnya menikahkannya dengan paksa kepada seorang bangsawan. Sampai akhir hayatnya bangsawan itu tak berhasil menyentuh Laila, yang notabene telah dipersuntingnya.
Ketika datang rasa rindu, bibir Majnun kering melantunkan tembang pujian dan syair kerinduan untuk Laila, ketika pagar rumah orang tua Laila menghalangi komunikasi mereka, Laila menulis surat cinta di potongan kertas kecil lalu ia biarkan angin membawanya sampai ke Majnun. Ayah Majnun mencoba memberikan alternatif untuk Majnun. Dibuatlah pesta yang dihadiri segenap gadis cantik, namun bukanlah Majnun kalau tak mampu bersikap loyal pada kekasihnya. Majnun menampik semua tawaran itu.
Banyak orang yang percaya, bahwa kisah Laila Majnun itu merupakan simbol belaka. Hakim Nizhami sebenarnya hanya menunjukkan bagaimana sikap seorang pecinta sejati kepada kekasihnya. Ketika Laila dan Majnun telah tiada, konon, seorang sufi bermimpi melihat Majnun hadir dihadapan Tuhan. Tuhan membelai Majnun dengan penuh kasih sayang seraya berkata, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil-Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”
Namun terasa agak pesimis, apa muatan nilai hakiki di balik kisah Majnun bisa mendapat tempat di hati remaja. Orang yang bergelut di jalan bisnis lendir, sangat jarang-jarang tersentuh jiwanya. Kalau begitu, lantas kita menyerah? Entahlah Bujang!!!! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar