Rabu, 30 Mei 2012

Orang Kaya Bermental Pengemis

on Thursday, March 11, 2010 at 7:02pm ·
(tulisan ini disebarluaskan oleh Harian Vokal dan riauhariini.com)

Menyimak kata miskin dan kemiskinan yang disampaikan Meneg PDT, Ir H Helmy Faishal Zaini ketika berkunjung ke Kabupaten Rohul, serta-merta teringat pula dengan rumusan esais, kritikus sastra dan dramawan ternama Irlandia, Bernard Shaw. Katanya, kejahatan terbesar dan kriminalitas terburuk adalah kemiskinan.
Filosof Yunani kuno, Aristoteles pun berpikir searah, "Kemiskinan adalah orang tua dari revolusi dan kriminalitas.” Tampak sudah dengan jelas dan terang, miskin identik dengan status sosial yang berkasta rendah. Karena itu, seperti suratan nasib, para filosof dan cerdik pandai pun alergi dengan kepapaan.
Namun entah kenapa, sejak pemerintah keranjingan memberi subsidi dan bantuan, terjadi keganjilan. Tatkala kebanyakan orang ingin menjadi kaya, dalam waktu bersamaan tidak sedikit pula orang berebut menjadi miskin. Kata seorang teman, bukan hanya orang yang memang tadinya sudah miskin ingin tetap dikatakan miskin, namun orang-orang yang kaya pun mulai memperebutkan status sebagai orang miskin. Semuanya bermula lantaran status miskin identik dengan subsidi atau kompensasi. Akibatnya, yang miskin akan tetap miskin dan yang kaya akan semakin kaya.
Seiring dengan itu tak heran, lahirnya gelombang generasi bermental pengemis dan manipulatif. Mereka merekayasa diri sehingga terkesan tersungkur dalam cap kesulitan ekonomi untuk menarik rasa iba dan kasihan. Mereka akan marah bila dibilang sudah lepas dari jeratan kepapaan.
Ada banyak pengalaman soal mental pengemis dan manipulatif. Di kampus-kampus sebagai ladang intelektual, ada mahasiswa pergi kuliah dengan mobil mewah. Pakaian necis dan berpenampilan perlente. Namun saat ada penerimaan beasiswa untuk kalangan kurang mampu, mereka yang kaya tadi tak malu-malu mengaku miskin.
Urat malu kebanyakan warga juga sepertinya sudah tercerabut saat berobat ke rumah sakit. Dengan mengurus surat miskin, mereka mengharapkan ada keringanan biaya. Padahal nilai nominal itu, tidaklah seberapa bagi mereka. Begitu juga soal pangan. Dengan mengaku miskin agar dapat beli beras dengan harga yang wajar. Juga perlu mengaku miskin supaya sekolah anak tak terhalang tingginya biaya.
Itu perangai orang kaya yang berpura-pura tak punya. Namun lebih menyedihkan lagi, orang miskin malah tak tahu diri. Sudahlah miskin, tak pula punya perhitungan. Ada sebuah artikel yang mengupas soal ini. Ngakunya nggak bisa beli susu atau telur karena nggak punya uang, padahal di tangannya terselip sebatang rokok. Banyak orang miskin yang berusaha melupakan kemiskinannya dengan merokok. Padahal orang miskin tidak sadar bahwa merokok bisa membuatnya terus miskin hingga tujuh turunan.
Di pedesaan, rokok sudah menjadi menu sehari-hari selain makanan pokok dan kopi yang selalu harus ada. Menurut hasil survei lembaga demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, besarnya pengeluaran untuk rokok adalah Rp 3.545 per hari atau Rp 106.350 per bulan. Ini setara dengan 26 persen penghasilan buruh tani tembakau per bulan. Dengan kata lain, seperempat upah buruh habis untuk dibakar.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 2 dari tiga laki-laki merokok dan perempuan juga sudah meningkat jumlahnya saat ini.
Indonesia merupakan negara yang paling terjangkau harga rokoknya dibanding negara-negara lain. Proporsi pengeluaran rumah tangga orang Indonesia yang pertama adalah padi-padian dan yang kedua adalah tembakau. Sementara itu susu, telur dan makanan bergizi lainnya berada di urutan kesekian.
Rokok mengalahkan kebutuhan gizi pada rumah tangga miskin. Cobalah setiap orang punya pikiran, kalau tidak merokok pasti tidak akan mati lebih cepat.
Harga satu bungkus rokok merek terkenal setara dengan setengah kg telur, 2 kg beras, 1 liter minyak goreng dan lainnya. Jadi sebenarnya orang miskin bisa beli makanan bergizi jika tidak membeli rokok. Makanya sampai ada istilah orang miskin yang merokok akan tetap miskin 7 turunan. Pertama dia sendiri miskin, tidak bisa menyekolahkan anak-anaknya, tidak bisa memberi makanan bergizi, lalu anaknya jadi bodoh, tidak bisa mendapat pekerjaan, lalu menghasilkan generasi seperti itu seterusnya hingga tujuh turunan. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar