Rabu, 30 Mei 2012

Tercecernya Janji Seorang Menteri

on Wednesday, March 10, 2010 at 7:18pm ·
(tulisan ini disebarluaskan oleh Harian Vokal dan riauhariini.com)

Seketika menjabat sebagai Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal (kini Menteri Pemberdayaan Daerah Tertinggal), Lukman Edy mengucapkan janji kepada segenap masyarakat Dusun Pauh, Desa Tanjung Belit, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau.
Janjinya banyak, yaitu akan membangunkan rumah panggung, membangunkan jembatan, dan membangun pembangkit listrik tenaga surya. Janji itu keluar dari muluk Lukman Edy ketika bulan Agustus 2007 saat berkunjung ke daerah terpencil itu. Baru dua janji yang ditunaikan, itu pun kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Rohul. Bukan dana segar dari Departemen yang dipimpinnya.
Sekarang Lukman Edy tak lagi jadi menteri. Satu janji belum ditepati. Menjelang berhenti, ada dua tahun kurang lebih interval waktu bagi Lukman Edy untuk menepati perkataannya. Namun sayang, hingga ia lengser dari jabatan bergengsi itu, janji tinggal janji. Sekarang penganti Lukman Edy, Helmi Faizal Zaini yang ditagih.
Entah apa penyebabnya, Lukman Edy sendiri pun tak pernah memberi penjelasan. Di tengah rasa harap-harap itu, entah kenapa pula teringat sebuah kisah. Pada pemerintahan Umar bin Khaththab, Islam berkembang secara menakjubkan. Jumlah pemeluk Islam bertambah berkali-kali lipat seiring dengan perluasan wilayah kekuasaannya. Saat itu Islam tidak saja dipeluk oleh penduduk Arab, tapi juga oleh bangsa-bangsa non Arab, misalnya Parsi.
Bersamaan dengan itu, tentara kaum Muslimin semakin tumbuh kuat dan perkasa. Tapi betapa pun kuatnya pasukan hasil reformasi Umar itu, ada saja pihak yang masih mau mencoba membangkang. Ketenaran pasukan Umar yang telah menggetarkan dunia tidak menyurutkan niat kelompok-kelompok ekstrim untuk melakukan pemberontakan. Seorang di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Harmuzan, mantan gubernur provinsi Nahawand, salah satu provinsi kerajaan Persia yang sudah ditaklukkan Islam.
Dengan modal pasukan terlatih dan loyal, disertai motivasi balas dendam yang membara, Harmuzan menyerang pertahanan Islam. Tapi dengan kerja keras kaum Muslimin, dalam satu pertempuran yang hebat pemberontakan Harmuzan dapat dipatahkan. Harmuzan sendiri ditangkap hidup-hidup dan ditawan. Akan tetapi atas kebijakan Khalifah, ia dibebaskan hanya dengan membayar jizyah.
Namun kebaikan hati Umar tidak menyadarkannya untuk menyerah dan menjadi warga negara yang baik. Ia justru kembali menghimpun kekuatan yang jauh lebih besar. Setelah berhitung secara cermat, ia pun kembali menggempur basis pertahanan Islam. Pertempuran hebat tak terhindarkan, tapi untuk kedua kalinya pemberontakan Harmuzan dapat dipatahkan. Ia kembali menjadi tawanan. Ia kemudian dihadapkan kepada Khalifah.
“Apakah kamu gubernur Nahawand yang memberontak?” tanya Umar.
“Benar, akulah orangnya,” jawab Harmuzan.
“Bukankah kamu sering melanggar perjanjian dengan kaum Muslimin?” tanya Umar lagi.
“Ya, aku telah melakukan itu.”
“Apakah kamu telah menyadari bahwa hukuman atas pengkhianatan itu adalah kematian?”
“Ya, aku menyadarinya.”
“Baiklah, apakah kamu telah siap menjalani hukuman tersebut sekarang?” selidik Umar.
“Aku siap, tapi ada satu permohonan sebelum aku mati,” pinta Harmuzan
“Apa itu?” tanya Umar.
“Aku haus sekali, bolehkah aku meminta segelas air?” kata Harmuzan
“Tentu saja,” kata Khalifah.
Setelah segelas air terhidang, Harmuzan berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, aku khawatir jika kepalaku dipenggal sebelum sempat aku meminum air ini.”
“Tidak akan,” tegas Umar memberi jaminan. “Tidak seorang pun yang akan menyentuh rambutmu sebelum kamu menghabiskan minuman itu.”
Suasana sunyi sejenak. Tapi segera pecah setelah Harmuzan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, engkau telah berjanji kepadaku bahwa engkau tidak akan menyentuh rambutku hingga aku menghabiskan air ini. Aku tidak menghabiskan air ini.” Sembari membuang gelas di tangannya ia melanjutkan, “Engkau tidak boleh membunuhku.”
Seraya tersenyum, Umar berkata, “Gubernur, ini adalah siasat cerdikmu. Walau bagaimanapun, karena Umar telah berjanji, dia harus menepatinya. Karena itu, sekarang engkau bebas.”
Selang beberapa lama, Harmuzan kembali ke Madinah, ibu kota negara Islam, dengan membawa rombongan besar. Tapi kedatangannya yang ketiga kali ini ia bukan untuk menyerang melainkan untuk masuk Islam. “Wahai Amirul Mukminin, kami datang untuk mencari kehidupan baru. Undanglah kami kepada Islam,” kata Harmuzan di hadapan Sang Khalifah.
Perang adalah membunuh atau dibunuh, tapi janji tetaplah janji. Dalam keadaan segenting apa pun janji haruslah ditepati. Tidak ada tempat dalam Islam untuk berkhianat. Inilah moralitas Islam yang dijunjung tinggi oleh orang-orang terhadulu yang shalih dan pemuka Islam hingga kini. Boleh jadi kaum Muslimin mempunyai tabiat dan perilaku buruk, tapi dua hal yang tidak boleh ada pada setiap kaum Muslimin adalah khianat dan dusta. Rasulullah menegaskan hal itu: “Seorang Mukmin mempunyai tabiat atas segala sifat tercela, kecuali khianat dan dusta.” ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar