Rabu, 30 Mei 2012

Perkara Jenderal Dicerna Prajurit

on Saturday, November 7, 2009 at 1:56pm ·

Sesungguhnya semua orang berhak berbicara, berpendapat dan menyampaikan isi pikirannya. Masalah apa saja. Kendati itu sekadar respon suka atau tidak suka. Walau itu hanya, reaksi tubuh dibolehkan. Memang itulah yang termaktub Undang-Undang Dasar kita.
Karut-marut dan hiruk-pikuk dilematika bangsa, turut menyuburkan semngat berpendapat. Kriminalisasi KPK, menjadi perbincangan tak hanya di kalangan elit, melainkan sudah meluas menjadi konsumsi populis. Tak orang partai, tak orang kantoran, tak orang buruh, sibuk membahas rekayasa kasus yang menjebak dua petinggi pemberantas korupsi yang dimasukkan ke penjara itu.
Menariknya lagi, polisi yang berpangkat rendah ikut pula urung rembuk. Mereka buat beragam grup di facebook. Ada pula Evan Brimob yang membuat geger dunia maya. Ia sampaikan unek-uneknya terkait celaan dan hinaan yang disampaikan publik. Sampai-sampai saking mandirinya emosi prajurit itu, mereka katakan Polri tak butuh masyarakat, masyarakat yang butuh Polri. Lantas apakah ada yang salah dengan sikap prajurit berbaju cokelat itu? Tidak! Mereka sedang mengunakan hak bicaranya.
Hanya saja mereka terkesan terlalu memaksakan diri untuk berpendapat. Entah itu sebuah instruksi atasan untuk membela institusi atau karena memang polisi itu sangat emosional. Mereka lupa daratan. Mereka tak ingat lagi eksitensi diri. Mereka lupa siapa mereka sebenarnya. Mereka sudah begitu pikun. Polri tidak akan ada, kalau masyarakat tak ada. Polri dibentuk karena masyarakat ada. Masyarakatlah yang mengaji mereka. Kalau sudah begitu, pantas mereka bicara begitu tidak sopan.
Kenapa prajurit itu sebegitu berkurangnya daya ingatnya? Inilah jawabannya. Ini ibarat makanan elang yang dimakan burung pipit. Bagaimana paruh burung pipit bisa mematuk makanan elang. Bagaimana perkara jenderal bisa dicerna prajurit. Kalau pun dipaksa, ya emosi jua yang paling-paling meledak. Apalagi indoktrinatif di lembaga itu sangat membuntukan daya pikir dan analisa. Tanpa bermaksud meremehkan, para jenderal saja sudah ketar-ketir digulug persoalan rekayasa itu. Mereka yang membuat skenario pun kalang kabut.
Di tengah asyik memikirkan tingkah pongah prajurit itu, tiba-tiba dari siaran radio terdengar sebuah pituah. “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi yang tahu hendaklah mengatakan apa yang ia ketahui. Dan bagi yang tidak tahu hendaklah mengatakan, Allaahu a’lam. Sebab termasuk ilmu adalah mengatakan, ‘Aku tidak tahu’ dalam perkara yang tidak ia ketahui ilmunya.” **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar