Rabu, 30 Mei 2012

Suka Pelihara Anjing dalam Diri

on Thursday, February 4, 2010 at 7:35pm ·

Mari kita jadi pemenang dalam perang! Jika tidak, jangan pernah sekali-kali mengangkat senjata. Lebih bagus tidur saja di rumah layaknya orang mati suri. Karena perang akan membawa bencana dan musibah.
Perang adalah pintu kemajuan. Gerbang lompatan peradaban. Kalau perang dilandasi filosofi Sun Tzu. Tokoh tersohor Cina masa lalu itu mengatakan, kemenangan sejati adalah kemenangan tanpa perang dan korban.
Cerdas bukan! Lantas bagaimana perang antar kampung di Kabupaten Rokan Hulu? Perang saja belum usai, sudah ada yang korban. Rumah berantakan, sepeda motor dan becak rusak berat karena amukan massa. Lalu bagaimana akan ada yang pemenang dalam perang yang bermula dari organ tunggal itu?
Bila ditilik sejenak, pertikaian itu bukan perang. Tapi hanya letupan emosi sesaat. Emosi dibalas emosi. Sakit hati direspon perasaan tak enak. Lalu ditularkan kepada orang sekampung. Rasa primodial dibangun sedemikian rupa. Emosi orang banyak diaduk atas dasar pengertian yang sempit. Lalu terbakarlah menjadi gerakan barbar. Gerakan penghancuran orang-orang yang dianggap musuh. Siapapun yang ada di kampung musuh dilibas.
Adukan emosi perang antar kampung sekilas tak ubahnya seperti sakit hati gerombolan kera. Emosi meledak-ledak bila jumlah mereka banyak. Mereka akan menyerang bersama-sama. Mereka akan menghancurkan secara massal. Tapi bila mereka seekor atau dua ekor, nyali mereka ciut. Rasa dendam hilang karena takut. Begitulah kera bila berperang.
Lain pula dengan emosi gajah. Hewan raksasa ini sangat peka dan mudah tersinggung. Dicaci saja sedikit, mereka akan marah. Tapi bedanya, siapa yang salah, itu yang dihajar. Ingat dengan kisah seorang warga Desa Cot Pangee, Lamteungoh/Krueng Tho, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, NAD, yang dilaporkan tewas dibanting seekor gajah liar tidak jauh dari rumahnya. Korban diculik dan dibanting hingga tewas, padahal di rumah tersebut banyak anggota keluarga lainnya. Lalu kenapa Wali yang jadi sasaran, kalau ia tak bersalah pada gajah.
Masyarakat adat hutan setempat mempunyai keyakinan, gajah termasuk satwa liar paling peka, pendendam dan mudah tersinggung sehingga jika ia dicaci maka suatu saat orang pencaci menjadi sasaran kemarahan si gajah. Kalau dihalau dengan kata-kata sopan, kawanan gajah akan menghilang dan kembali ke habitatnya tanpa menganggu manusia.
Lantas apa kata kuncinya? Jawabanya adalah pengendalian diri, yang oleh al-Attar, Murid al-Hallaj (pemeluk Islam pertama di AS), disimbolkan dengan seorang yang memelihara anjing. Dalam buku hasil suntingan Leonard Lewisohn: The Heritage of Sufism; Classical Persian from its Original to Rumi (700-1300), England: Oneworld Publication, 1999) ada kisah. Suatu ketika, al-Hallaj datang ke perguruan muridnya, al-Attar dengan membawa dua ekor anjing. Makanan lezat yang disediakan murid-murid al-Attar disantap al-Hallaj bersama anjingnya. Sepotong untuk anjing, sepotong lagi untuk dirinya.
Murid-murid al-Attar tersinggung dengan kelakuan al-Hallaj yang jorok dan menyampaikan protes kepada al-Attar. Mereka tidak suka melihat seorang al-Hallaj bermain-main dengan anjing, si binatang najis. Dengan tenang al-Attar menengahi protes murid-muridnya.
"Itulah istimewanya guru saya, al-Hallaj. Ia sudah berhasil memelihara anjing di luar dirinya. Sementara kalian masih memelihara anjing dalam diri kalian!" ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar