Rabu, 30 Mei 2012

Syahdan, Urusan Sejengkal dari Pusar

on Wednesday, January 20, 2010 at 6:44pm ·

Apa pendapat Tuan dan Puan ketika mendengar kabar bahwa ratusan pelacur mengerayangi Kota Duri? Belum lagi di Kota Pekanbaru, Dumai dan sejumlah kabupaten dan kota lainnya. Wanita penghibur menjajakan layanan seks di Bumi Lancang Kuning? Di sebuah provinsi yang mengindentikan diri sebagai daerah Islam. Tempat bersemayam umat Muhammad, ada kegiatan yang diharamkan?
Apakah Tuan dan Puan marah? Atau hanya cuek bebek? Sebagai orang Islam yang beriman sepenuh hati, alamat Anda marah dibuatnya. Karena menurut kitab suci, kemaksiatan bisa mendatangkan bencana. Anda tentu tak ingin mendapat musibah gara-gara kerja buruk orang lain.
Tapi seberapalah jumlah orang yang seperti Anda. Kecil dan tidak signifikan. Makanya tak ada terdengar gelombang protes. Jika besar jumlah orang yang beriman sepenuh hati dan menafkahkan hidupnya ke Jalan Muhammad, tentu maksiat akan enyah. Itu pasti. Pengikut Muhammad, adalah sosok yang menjauhkan diri dari perkara urusan sejengkal dari pusar itu.
Upzz…pesetan dengan urusan kapasitas diri orang lain. Kini jelas sudah, soal segumpal daging di dalam dada, yaitu hati, sifatnya idealis, perut tabiatnya kapitalis dan sejengkal di bawah perut itu liberalis. Segopok daging itu menginginkan kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Di sinilah perkara bagaimana bisa maraknya praktik pelacuran marak di negeri ini. Si penjaja menginginkan keleluasan menjual diri, sementara pemakai menghendaki penikmatan tanpa gangguan, kendati ada rasa malu dalam diri.
Tapi jangan heran pula, menurun seorang antropolg, Ihsan kalau pelacuran dalam sejarahnya juga bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah “pelacur kuil” (temple prostitutes). Pelacuran model ini ditemukan di pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuna, Palestina Kuna, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran di jalan-jalan dan di kedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil.
Menurut seorang antropolog lain, Wakhudin, menelusuri sejarah pelacuran di Indonesia dapat dirunut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana perdagangan perempuan di pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan Kesultanana Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa itu, konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (binatara). Kekuasaan raja Mataram sangat besar. Mereka seringkali dianggap menguasai segalanya, tidak hanya tanah dan harta benda, tetapi juga nyawa hamba sahaya. Anggapan ini apabila dikaitkan dengan eksistensi perempuan saat ini mempunyai arti tersendiri.
Menilik sekilas sejarah dan kontribusi pelacuran, ada kekhawatiran. Jangan-jangan uang dari bisnis lendir itu juga mengalir untuk pembangunan masjid. Lokalisasi legal ada retribusi. Retribusi masuk APBD. Satu dari item APBD, ada anggaran bantuan masjid.
Begitu juga dengan lokalisasi illegal. Bisnis esek-esek ini juga ada uang keamanan yang diberikan ke pejabat. Bagaimana pula jadinya, uang keamanan itu diinfakkan ke masjid? Karena sebagaian besar penerima uang keamanan, acap terlihat sebagai orang yang sering datang ke rumah Tuhan. Entahlah Bujang! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar