Selasa, 12 Juni 2012

Biarlah Fisik Dipenjara Tuan!

(tulisan ini dipublikasi harian vokal, 10 november 2010)
Bayangan diri bakal dipenjara sudah di depan mata. Hanya menunggu masa Tuan! Bila waktu itu tiba, alamat diri mereka dikurung dalam jeruji besi. Hmm… hilang sudah semua kebebasan.
Tak kuat Fulan membayangkan masa itu datang. Lebih tak kuat lagi, sudahlah diri terpasung tembok hotel prodeo, hati terpenjara pula. Jiwa tertawan nafsu.
Wah… Tuan! Ada pesan Hasan al-Hudhaibi;”Penjara bukanlah tembok tebal atau jeruji besi. Penjara yang sebenarnya adalah keadaan dalam perasaan dan pikiran kalian”.
Suatu mutiara kata yang sangat bermakna pernah terucap dari mulut Imam Ibn Taimiyyah sebagaimana yang diceritakan oleh muridnya Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauzi yang turut dipenjarakan bersama beliau;"Banduan yang sebenar ialah mereka yang hatinya terpenjara dari Tuhannya, manakala orang tawanan yang sebenar ialah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya!"
Seorang teman pernah mewanti-wanti Fulan. Wahai Fulan! Pernahkah kamu terpenjara? Sebuah penjara sunyi nan gelap, sebuah penjara yang ada jauh di dalam perut bumi, sebuah penjara yang tak memiliki setitik cahaya pun yang bahkan rembulan tak akan pernah bersinar dan langit hitam tak berbintang. Sebuah penjara hati, aku menamakannya.
Sunyi kelam hati ini, begitulah ia. Sebuah penjara tanpa ruang untuk memasukinya, sebuah penjara yang hanya dikelilingi oleh tembok ilusi dan rupa-rupa. Sebuah eksistensi yang begitu menggugat, sebuah hati yang hitam. Tolong jangan pernah menyentuhnya.
Teman, aku berharap kau tidak akan pernah mengalaminya. Tak akan pernah ia menyapamu, atau paling tidak ia tidak akan menjadi sekelam ini. Sebuah bagian tanpa ruang tanpa waktu, lebih pekat dari hitam terpekat, lebih menghisap daripada bintang mati yang terhisap oleh gravitasinya sendiri. Amat menggugat, ia amat menggugat. Dan tak ada ruang untuk menangis …
Ini bukan bagian yang terbentuk oleh cinta yang terlunta dan terluka, sama sekali bukan. Dia bukan tercipta dari ribuan hampa dan kejenuhan yang terakumulasi, sama sekali tidak. Hanya setitik awal ia terbentuk, mengakar, menyebar, lalu kau tersadar dia telah menjadi begitu kelam. Tak ada tempat untuk bernafas dalam hitam sepekat itu, tak ada ruang untuk hidup. Jantung yang terus berdetak memompa nyawa, namun tanpa jiwa.
Coba engkau bayangkan teman, walau ia tak akan pernah terbayangkan kecuali engkau rasakan. Bagaimana sebuah hati yang hitam dan amat pekat, hati yang begitu liat, hati yang tak memiliki ruang untuk disentuh. Bayangkanlah dia begitu menggurita menjalari setiap pembuluh kehidupanmu, menancap keras di nadi-nadimu, dan seluruh ototmu menjadi tak pernah kau mengerti.
Mungkin hanya Tuhan yang mampu membuat hati itu kembali putih, menjadi seperti awal ia terlahir, mungkin hanya Tuhan. Dan hanya Tuhan yang mampu membuat ia sepekat itu, hanya Tuhan teman… bukan oleh yang lain, bukan cinta, bukan hampa, bukan kesunyian, bukan kemarahan. Hanya Tuhan.
Sebuah bongkah hitam yang ada dalam tiap tubuh, dan memakan jiwa. Penjara itu masih tetap sesunyi yang lalu, masih tetap menjadi hitam yang terpekat, menjadi tak terbantahkan dan terbilang. Entah kapan ia akan mulai melunak dari liat, menjadi sedikit pudar dari hitam, dan memiliki sedikit bunyi dari tak bersuara. Hitam yang bukan hanya hitam, sunyi mendalam daripada hampa.
Kalau begitu Tuan, tak apa-apalah fisikmu dipenjara, namun hati dan pikiranmu merdeka. Engkau pastilah bisa berkarya seperti Buya Hamka. “Hmm… apa iya,” kata Fulan bertanya-tanya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar