Selasa, 12 Juni 2012

Indeks Kebahagiaan Pasca Lebaran

(tulisan ini disebarluaskan harian Vokal, 20 September 2010)
Lebaran telah usai. Uang bertebaran kemana-mana. Kesana-kemari menyebar. Yang tersisa cerita minus alat transaksi di tangan. Apakah lantas, manusia tak bahagia lagi. Nelangsa pasca hari raya?
Bisa iya dan bisa pula tidak. Namun menurut Ekonom di Carnegie Mellon University, George Loewenstein; sebagian arti hidup adalah untuk mengalami senang dan susah. Hidup yang terus-menerus bahagia bukanlah hidup yang baik. Adapula yang berseloroh, "Uang bukan segala-galanya, tetapi tanpa uang susah segala-galanya."
Apakah uang bisa menjamin kebahagiaan? Pertanyaan ini setidaknya sejak tahun 2004 telah dijawab. Matthew Herper seorang pakar yang menuangkan pernyataan di Forbes; "Uang tak bisa membeli kebahagiaan." Seorang guru besar kedokteran di Universitas Michigan, Peter Ubel memperkuat pendapat itu. Katanya, hubungan antara uang dan kebahagiaan ternyata kecil saja.
Ada kisah, suatu hari, Raja Mahmud yang perkasa dari Ghazna pergi berburu. Ia terpisah dari kelompoknya dan kemudian mendatangi asap yang berasal dari sebuah api kecil. Tatkala sampai di sumber asap, ia menemukan perempuan tua dengan belanganya. Raja Mahmud berkata: “Hari ini engkau mendapat tamu seorang raja, apa yang engkau masak di atas apimu?” Perempuan tua itu menjawab, “Ini rebusan buncis.” Raja Mahmud bertanya, “Wahai perempuan tua, maukah engkau memberiku sedikit?” “Tidak,” jawab perempuan itu, “Karena ini hanya untukku. Kerajaanmu tidak berharga sebagaimana buncis-buncis ini. Engkau boleh saja menginginkan buncisku, tetapi aku tidak menginginkan apa pun yang engkau miliki. Buncis-buncisku bernilai seratus kali lipat daripada semua milikmu. Lihat musuh-musuhmu, yang berusaha mengambil alih milikmu. Aku bebas, dan memiliki kacang buncisku.” Mahmud yang perkasa memandang pemilik kacang tersebut, memikirkan kekuasaannya yang dipersengketakan, dan menangis.
Selaras dengan itu ada pula cerita tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan melelahkan. Mereka bergembira dan berduka bersama  mengumpulkan kekuatan dan tenaga bersama
Setelah berhari-hari lamanya mereka menyadari bahwa yang
mereka miliki tinggal sepotong roti dan seteguk air di kendi. Mereka
pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan dan meminum
bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai persesuaian pendapat akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan minuman itu menjadi tiga. Namun tetap saja mereka tidak sepakat. Malampun turun, seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka bangun orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan menentukan apa yang harus dilakukan.  Pagi berikutnya ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit. Inilah mimpiku kata yang pertama. Aku berada di tempat tempat yang tidak bisa digambarkan begitu indah dan tenang. Aku, berjumpa dengan seorang bijaksana yang mengatakan kepadaku; Kau berhak makan makanan itu sebab kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga dan pantas mendapat pujian. “Aneh sekali,” kata musafir kedua. Sebab dalam mimpiku aku jelas jelas melihat segala masa lampau dan masa depanku. Dalam masa depanku kulihat seorang lelaki maha tahu berkata; “Kau berhak  akan makanan itu lebih dari kawan kawanmu sebab kau lebih berpengetahuan dan lebih sabar Kau harus cukup makan sebab kau ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia.”
Musafir ketiga berkata, dalam mimpiku aku tak melihat apapun dan tak berkata apapun. Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun mencari roti dan air itu lalu memakannya di situ juga. Nah itulah yang kukerjakan semalam

Hmm…Fulan! Itu hidup! Bahagia dengan uang dan tak bahagia tanpa uang. Dalam laporan yang ditulis Rana Foroqhar, seolah menggugat hukum penting ekonomi yang mengatakan bahwa "kesejahteraan (well-being) merupakan fungsi sederhana penghasilan". Artinya, makin tinggi penghasilan, makin bahagia, demikian pula sebaliknya. Kini, negara seperti Bhutan, Australia, China, Thailand, dan Inggris, telah memperkenalkan "Indeks Kebahagiaan" untuk digunakan bersama dengan produk domestik bruto (PDB) guna mengukur kemajuan satu masyarakat.
Lantas bagaimana dengan kita yang setriap hari dianjurkan qanaah? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar