Selasa, 12 Juni 2012

Kata Maaf tak Menghapus Luka

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 8 OKTOBER 2010)
Tuan dan Puan pasti tahu, kalau negeri ini banyak dipimpin oleh kepala daerah yang bermental pemarah. Sedikit-sedikit marah, tetapi marahnya tak sedikit. Kadang kala masalah keluarga, terseret pula ke urusan kerja publik.
Kalau sudah marah, keluar berbagai ocehan, cacian dan makian. Tanpa penghambat kata-kata yang melukai perasaan meluncur dari mulutnya. Kejam nian engkau wahai pemimpin! Siapakah orangnya? He he he…Engkau pasti tahu Fulan!
Tapi ada baiknya, engkau sampaikan kisah sosok pemarah dan paku terhujam di bambu Fulan! Begini kisahnya; di suatu kampung, ada seorang yang pemarah. Kalau sudah emosi, mulutnya beracun, pedas dan selalu menyakiti orang lain. Dia tidak bisa mengendalikan diri sendiri, tidak bisa menjaga emosinya, terutama ketika kita marah. Suatu hari dia bertemu dengan ayahnya. "Wahai anakku, aku akan memberikan pekerjaan padamu," kata ayahnya. "Apa itu ayah?" jawab orang itu kepada ayahnya. "Hari ini coba kamu masukkan paku-paku ini satu per satu ke pagar bambu di belakang rumah untuk setiap kali kamu marah dan tidak bisa mengendalikan diri." Orang itu pun mengikuti perintah ayahnya. Tak lama kemudian, dalam hitungan hari, 37 paku sudah tertancap pada bambu. Lantas melapor. "Sudah selesai ayah. Aku sudah bisa memasukkan paku-paku itu ke pagar bambu belakang rumah untuk setiap kali aku marah, dan sekarang pakunya sudah habis,” lapor sang anak. "Coba mari kita lihat," kata Ayahnya, "Oke sekarang ada tugas baru, untuk setiap kali kamu bisa menahan marah dan tidak marah, kamu cabuti paku-paku itu satu per satu." Perintah itu pun dilakukan, dan orang itu untuk setiap kali tidak marah dan bisa menahan marah dia mencabuti paku-paku tersebut sampai habis.
Beberapa hari berselang, semuanya sudah tercabut lagi. "Ayah, paku itu sudah aku ambil semuanya, dan aku sudah bisa menahan marah." kata orang itu.
Lantas sang ayah mengajaknya anak ke tempat bambut dimaksud. "Wahai anakku, lihatlah bahwa untuk setiap kali engkau marah dan engkau tidak bisa menahan diri kemudian engkau menyakiti orang lain, adalah seperti engkau menusukkan paku-paku itu ke hati orang lain dan menyakitinya. Kemudian engkau meminta maaf kepada orang yang kamu sakiti dengan mencabut paku-paku itu dari hati mereka, lihatlah...bahwa bambu itu tetap berlubang akibat paku itu, tidak kembali seperti semula setelah engkau cabut paku itu. Hati orang-orang yang kau sakiti akan tetap meninggalkan bekas luka, tak perduli berapa banyaknya engkau minta maaf," kata ayahnya. Lalu mereka berhenti bicara sejenak sembari memandang dalam-dalam bekas lobang yang ada di bambu. Sambil menghela nafas, ayahnya melanjutkan nasihat. "Oleh karena itu, jagalah emosimu, tenangkan jiwamu dan jaga lisanmu agar tidak menyakiti orang lain. Sesungguhnya manusia yang baik itu adalah apabila orang lain merasa aman dari gangguan tangan maupun lisannya."
Wahai Tuan pemimpin! Ingatlah janganlah mulutmu suka kamu gunakan untuk mencela orang lain, sesungguhnya semua orang punya cela, dan semua orang punya mulut. Kendati kamu pemimpin, mulutmu janganlah beracun Tuan!
He he he…menGgurui Fulan ini! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar