Selasa, 12 Juni 2012

Ahli Fikih Merampok Hakim

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 1 OKTOBER 2010)
Maling teriak maling! Bisa jadi begitu yang terjadi pada pembobolan gudang penyimpanan bantuan Dinas Sosial Kota Dumai. Banyak kejanggalan di lapangan dan tak sedikit pula ketimpangan pernyataan Sang Kepala Dinas, Ishak Effendi.
Kata orang, banyak sosok berpenampilan seperti nabi, tetapi berperilaku layaknya yahudi. Berjenggot, namun kerjanya maling. Orang yang performancenya baik dan cerdas, barangkali lebih sigap lagi dalam menilep barang-barang bukan miliknya. Orang berpendidikan, jangan sebut lagi Bung! Bukan apa-apa, Ishak Effendi punya cacatan kelam ketika memimpin Dinas Kebersihan Kota Dumai. Orang bersekolah punya banyak argumen dan kelicikan untuk menggelabui.
Ini kisah ahli fikih jadi perampok sebagaimana ditulis Muhammad Amin al-Jundy. Seorang Qadli dari Anthokia pergi ke sawah miliknya, namun tatkala baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba ia dihadang seorang maling sembari membentak; “Serahkan semua yang engkau miliki! Kalau tidak, aku tidak akan segan-segan berbuat kasar terhadapmu!”
“Semoga Allah menolongmu. Sesungguhnya para ulama itu memiliki kehormatan. Dan aku adalah seorang Qadli negeri ini, karena itu lepaskan aku,” kata Qadli.
“Alhamdulillah, karena Dia telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan orang sepertimu. Aku sangat yakin bahwa kamu bisa kembali ke rumah dengan pakaian dan kendaraan yang serba berkecukupan. Sementara orang selainmu barangkali kondisinya lemah, fakir dan tidak mendapatkan sesuatu pun,” jawab si maling
“Menurutku, kamu ini orang yang berilmu,” selidik Qadli “Benar, sebab di atas setiap orang yang alim ada yang lebih alim,” jawabnya tenang.
“Kalau begitu, apa katamu tentang hadits; Dien itu adalah Dien Allah, para hamba adalah para hamba Allah dan as-sunnah adalah sunnah-Ku; barangsiapa yang membuat-buat sesuatu yang baru (bid’ah), maka atasnya laknat Allah. Maka, memalak dan merampok adalah perbuatan bid’ah dan aku menyayangkan bila kamu masuk dalam laknat ini,” kata Qadli mengingatkan.
“Wahai Tuan Qadli, ini hadits Mursal (bagian dari hadits Dla’if), periwayatnya tidak pernah meriwayatkan dari Nafi’ atau pun dari Ibn ‘Umar. Kalau pun aku mengikuti kamu bahwa hadits itu shahih atau terputus, maka bagaimana dengan nasib si maling yang amat membutuhkan, tidak memiliki makanan pokok  dan tidak dapat pulang dengan berkecukupan. Sesungguhnya harta yang bersamamu itu halal bagiku. Malik meriwayatkan dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar Rasulullah SAW bersabda, andaikata dunia itu ibarat darah segar, niscaya ia halal menjadi makanan pokok kaum mukminin. Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan seluruh ulama bahwa seseorang boleh menghidupi dirinya dan keluarga (tanggungan)-nya dengan harta orang selainnya bila ia khawatir binasa. Demi Allah, aku takut diriku binasa sementara harta yang ada bersamamu dapat menghidupiku dan keluargaku, serahkanlah lalu pergilah dari sini dengan selamat,” ujar si maling
“Kalau memang demikian kondisimu, biarkan aku pergi dulu ke sawahku agar singgah ke penginapan para budak dan pembantuku untuk mengambil sesuatu yang dapat menutupi auratkku. Setelah itu, aku akan serahkan kepadamu semua apa yang bersamaku ini,” kata Qadli beralasan
“Tidak mungkin, tidak mungkin! Orang sepertimu ini ibarat burung di dalam sangkar; bila sudah terbang ke udara, lepaslah ia dari genggaman tangan. Aku khawatir bila membiarkanmu pergi, kamu tidak bakal memberikan sesuatu pun kepadaku,” kata si maling lagi.
“Aku bersumpah untukmu bahwa aku akan melakukan itu,” kata Qadli mempertegas
“Malik menceritakan kepada kami dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, Sumpah orang yang dipaksa (terpaksa) tidak menjadi kemestian (tidak berlaku). Allah berfirman, kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya mantap dengan keimanan. Aku khawatir nanti kamu menakwil-nakwil terhadap perkaraku ini, karena itu serahkan saja apa yang ada bersamamu itu!” tegas si maling seakan tidak mau berkompromi.
Maka, sang Qadli pun memberinya kendaraan dan pakaian tetapi tidak menyerahkan celananya. Lalu si maling berkata; “Serahkan juga celana itu, ini harus.!”
“Sesungguhnya sekarang sudah waktunya salat padahal Rasulullah bersabda, celakalah orang yang melihat aurat saudaranya.’ Sekarang ini, sudah waktunya salat sementara orang yang telanjang tidak boleh saalat sebab Allah berfirman, ambillah hiasan kamu setiap pergi ke masjid. Dikatakan bahwa tafsir hiasan tersebut adalah pakaian ketika akan salat,” sang Qadli mulai berargumentasi
“Adapun mengenai salat kamu itu, maka hukumnya sah. Malik menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibn ‘Umar bahwasanya Rasulullah bersabda; Orang-orang yang bertelanjang melakukan shalat dengan berdiri sedangkan imam mereka berada di posisi tengah. Malik berkata; mereka tidak boleh saalat dengan berdiri tetapi salat secara terpisah-pisah dan saling berjauhan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa melihat kepada aurat sebagian yang lainnya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, ‘mereka salat dengan duduk.’ Sementara mengenai hadits yang kamu sebutkan itu, maka ia adalah hadits Mursal dan andaikata aku menyerah kepada dalilmu, maka itu dapat diarahkan kepada makna ‘memandang dengan syahwat.’ Sedangkan kondisimu saat ini adalah kondisi terpaksa bukan bebas, dapat memilih. Bukankah engkau tahu bahwa wanita boleh mencuci farji (kemaluan)-nya dari najis padahal tidak dapat menghindar dari melihatnya? Demikian juga dengan seorang laki-laki yang mencukur bulu kemaluannya, orang yang menyunat dan dokter. Bila demikian keadaannya, maka ucapan sang Qadli tidak berlaku,” sanggah si maling yang ahli fiqih ini.
“Kalau begitu, kamulah Qadli sedangkan aku hanyalah seorang yang disidang, kamulah ahli fiqih sedangkan aku hanya orang yang meminta fatwa dan kamulah Mufti sebenarnya. Ambillah celana dan pakaian ini,” aku sang Qadli mengakhiri debat itu.
Lalu si maling yang ahli fiqih itu mengambil celana dan pakaian tersebut, kemudian berlalu. Sementara Qadli masih berdiri di tempatnya hingga akhirnya ada orang yang mengenalnya.
Qadli berkata, “Sesungguhnya ia adalah seorang ahli fiqih yang disanjung. Namun masa membuatnya pensiun hingga akhirnya melakukan apa yang telah dilakukannya tersebut.”
Akhirnya, sang Qadli mengutus seorang utusan kepadanya, memuliakannya serta menyuplai kebutuhan hidupnya.
Berbeda Tuan! Tak sama Bung! Banyak orang sekarang ketika dikasih jabatan malah kerja merampok, korupsi dan tipu daya. Kacau nian wahai kawan! ***

2 komentar:

  1. Balasan
    1. iya dulu, pemimpin redaksi di harian itu. hingga september 2011. Usai itu, tak lagi. ada apa dengan pertanyaan tuan/puan?

      Hapus