Selasa, 12 Juni 2012

Ulama Beo di Negeri Seribu Kubah

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 4 OKTOBER 2010)
Pernah suatu hari, Bupati Annas Maamun berang benar sama penceramah asal Jakarta, Syamsul Arifin Nababan, Lc. Karena sudah kondisinya tak bagus, ulama yang mantan pastor tersebut harus menghentikan ceramah di saat ia baru naik podium 20 menit.
Berdasarkan sumber, kemarahan Annas Maamun terjadi begitu saja. Tiba-tiba saja bupati tertua di Indonesia tersebut berdiri dari duduknya di barisan paling depan seraya menyergah, “Apa tidak ada kajian lain yang bisa diceramahkan. Semua kita ini pernah korupsi. Tidak hanya saya yang korupsi,” sergahnya seraya mengarahkan tudingan ke ustadz di atas podium dan jemaah yang hadir di masjid. Jemaah pun terperangah.
Lebih mengejutkan lagi, Annas lantas memanggil istrinya untuk turut berdiri dan meninggalkan majelis tersebut. “Hanum, kita pulang saja!” perintahnya kepada istri sambil bergegas keluar masjid.
Melihat bupati dan istrinya keluar masjid, para undangan yang pada umumnya pejabat dan pegawai Pemkab Rohil ikut-ikutan bangkit dan meninggalkan masjid. Suasana tersebut kemudian memaksa ustadz menghentikan ceramahnya sebelum tuntas.
Usut punya usut, ternyata materi yang disampaikan Ustasz Nababan tidak berkenan di hati Annas. Saat penceramah menyinggung masalah korupsi. Dalam ceramahnya Ustadz Nababan membuat ilustrasi mengenai kekeliruan pandangan sebagian orang, bahwa dengan pergi haji semua dosa bisa diampuni. Ia menyebutkan permisalan ada seorang koruptor yang membawa keluarganya naik haji ke Mekkah. Setelah pulang haji, sang koruptor meyakini seluruh dosanya telah disucikan. Entah mengapa mendadak saja Annas berang mendengar permisalan tersebut. Tanpa memperdulikan sopan santun dan etika ia lantas menyergah penceramah dan mengajak istrinya meninggalkan masjid.
Sejak itu semua penceramah dari luar Rohil difilter dan disaring. Apalagi kalau ulama itu akan berbicara di depan bupati. Manakala tak bisa diatur, maka tak jadi diundang. Bilamana bisa membuat Hati Annas Maamun senang, dengan segala kegembiraan diminta datang.
Ulama kritis tak lagi terdengar di sana. Kendati ada hadist yang intinya; jihad yang paling utama adalah kritik kepada penguasa yang zalim. Namun tak ada pewaris nabi setempat yang berani menjalan titah Rasulullah itu. Namun ulama yang berzikir banyak. Masjid dibangun dengan jumlah banyak dan megah, namun jamaah sepi.
Ada kisah seorang ulama dengan ilmu hikmahnya yang luas, memiliki seekor burung beo yang pandai mengucapkan salam dan kalimat-kalimat zikir: ”Subhanallah, Alhamdulillah, Laailahaillallah, Allahu Akbar..” Setiap saat diulang-ulangnya kalimat itu, tiada hari tanpa berzikir. Makin hari, makin fasih saja si burung. Sang ulama senangnya bukan main, hampir tiap hari ada saja orang yang menawar untuk membelinya, tapi dengan tegas sang ulama’ selalu mengatakan tidak menjual berapa pun harganya. Hingga suatu hari si burung beo disambar kucing, dan terdengar suaranya yang nyaring saat sakaratul maut ”keak... keak... keak...” Sang Ulama’ melihat sendiri kejadian itu. Beliau pun menangis dan bersedih selama berhari-hari. Hingga seorang santri memberanikan diri untuk bertanya perihal apa yang telah terjadi hingga sang ulama sangat sedih? Sembari meneteskan air mata, ulama menjelaskan burung beo-nya telah mati disambar kucing, padahal burung itu senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat dzikir.  “Yang membuatku sedih adalah ketika burung beo itu mengalami sakaratul maut, burung beo itu tidak mengucapkan kalimat-kalimat zikir yang biasa dibacanya setiap hari, tapi hanya keak... keak... keak...”. Kata-kata itu yang keluar dari paruhnya... itu sebabnya aku menangis sedih...” kata sang ulama’. ”Lebih sedih lagi, ketika aku teringat betapa setiap hari kita berzikir, Subhanallah..., Alhamdulillah..., Laailahaillallah..,. Allahu Akbar..., dan setiap kita  pasti akan mengalami kematian. Mungkinkah, saat sakaratul maut nanti kita mengucapkan zikir-zikir yang biasa kita ucapkan seperti saat kita masih hidup?”. Sambil menahan isak tangis Beliau kembali bertanya: “Atau mungkin, saat ini kita tidak sedang berzikir, tapi kita sedang membeo?”
Hmm… lebih berani pula mahasiswa dan pemuda dari pada pewaris nabi. Atau jangan-jangan mereka bukan pewaris nabi, tetapi sosok yang hafal beberapa ayat dan membacanya dengan pikiran dan tidak menyertai hati?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar