Selasa, 12 Juni 2012

Tak Perlu Menangis atau Berteriak Nak!

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 30 SEPTEMBER 2010)
Orangtua yang berorientasi jauh ke depan akan memasukan anak ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Orangtua yang ingin cepat-cepat menikmati hasil, mereka mendorong buah hati mereka belajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ini paradigma yang disebabkan latar belakang masing-masing sebagaimana dilansir peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Indonesia, Qisha Quarina.
Tetapi apapun pilihan yang diambil, di sana ada kasih sayang, harapan dan perimbangan. Orangtua menginginkan anaknya cepat berhasil dan segera dewasa. Cepat bisa mandiri dan bisa pula membantu.
Ada sebuah suku pada bangsa Indian yang memiliki cara yang unik untuk mendewasakan anak laki-laki dari suku mereka. Jika seorang anak laki-laki tersebut dianggap sudah cukup umur untuk didewasakan, anak laki-laki tersebut akan dibawa pergi oleh seorang pria dewasa yang bukan sanak saudaranya. Mata sang anak ditutup.
Si anak dibawa jauh menuju hutan yang paling dalam. Ketika hari sudah menjadi sangat gelap, tutup mata anak tersebut akan dibuka, dan orang yang mengantarnya akan meninggalkannya sendirian. Ia akan dinyatakan lulus dan diterima sebagai pria dewasa dalam suku jika ia tidak berteriak atau menangis hingga malam berlalu.
Malam begitu pekat, bahkan sang anak itu tidak dapat melihat telapak tangannya sendiri. Begitu gelap dan ia begitu ketakutan. Di sekeliling terdengar suara-suara yang begitu menyeramkan, auman serigala, bunyi dahan bergemerisik. Si anak semakin ketakutan, tetapi ia harus diam, ia tidak boleh berteriak atau menangis, ia harus berusaha agar ia lulus dalam ujian tersebut.
Satu detik bagaikan berjam-jam, satu jam bagaikan bertahun-tahun, ia tidak dapat melelapkan matanya sedetik pun, keringat ketakutan mengucur deras dari tubuhnya.
Cahaya pagi mulai tampak sedikit, ia begitu gembira. Ia melihat sekelilingnya dan kemudian ia menjadi begitu kaget, ketika ia mengetahui bahwa ayahnya berdiri tidak jauh di belakang dirinya, dengan posisi siap menembakan anak panah, dan golok terselip di pinggang. Si ayah menjagai anaknya sepanjang malam, jikalau ada ular atau binatang buas lainnya, maka ia dengan segera akan melepaskan anak panahnya, sebelum binatang buas itu mendekati anaknya. Sambil berdoa agar anaknya tidak berteriak atau menangis.
Dalam mengarungi kehidupan ini, sepertinya Tuhan “begitu kejam” melepaskan anak-anakNya ke dalam dunia yang jahat ini. Terkadang kita tidak dapat melihat penyertaanNya, namun satu hal yang pasti! Dia setia, Dia mengasihi kita, dan Dia selalu ada bagi kita.
Bung! Kata orang, dewasa itu pilihan dan tua itu pasti. Kedewasaan seseorang biasanya diukur dari sikap, sifat dan pola pikirnya. Semuanya akan berkadar baik jika sekolah tinggi dan aktif pula dalam pergaulan kemasyarakatan. Bung! Kita pantas sedih, jika anak dijadikan robot lewat proses sekolah yang kita mau! Hmmm…jangan berharap anak seperti kita, karena kata Ghalil Gibran, anak itu ibarat panah dan orangtua adalah busur. Setelah anak panah dilepas, busur tak lagi berkuasa. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar