Selasa, 12 Juni 2012

Fulan Dikelilingi Tujuh Bidadari

(TULISANN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 8 NOVEMBER 2010)
Di sebuah taman yang indah, Fulan dikelilingi tujuh bidadari. Menawan dan memesona. Taman yang tiada tandingnya. Namun tiba-tiba, enam perempuan anggun itu serentak berkata; “Hei…si jenggot pirang! Matahari sudah tinggi, kenapa kamu masih duduk di taman,” kata mereka seperti krlompok vokalis.
Namun seketika itu pula, keenam bidadari tersebut lenyap. Menghirap tanpa bekas seperti ninja berkelabat. Herannya, satu bidadari masih ada. Senyumnya mekar. Wajahnya cerah dan penuh simpati.
“Wahai Tuan! Saya pernah mendengar dialog Imam Al Ghazali dengan muridnya. Ketika itu, sang Imam bertanya; “Apa yang paling tajam sekali di dunia ini?"
Baru saja pertanyaan dilontarkan, lanjut bidadari, murid-murid dengan serentak menjawab pedang. Lantas Imam Ghazali mengatakan, itu benar . Tapi yang paling tajam sekali di dunia ini adalah lidah manusia. Melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasan saudaranya sendiri.
Tak berkedip mata Fulan. Entah lantaran bagusnya cerita atau karena anggunnya sang bidadari. Sudah lupa dengan perkataan enam bidadari yang pertama. Namun dasarnya si Fulan, dia tak mau kalah. Dia ingin memukau sang bidadari dengan persilatan lidahnya. Dia berkisah. Ada suatu zaman, seorang penebang pohon bersahabat karib dengan seekor singa. Setiap siang hari, si penebang pohon makan siang dan duduk-duduk di pinggir hutan di tepi sebuah selokan. Saat itulah seekor singa yang menjadi temannya keluar dari hutan dan berbaring di sampingnya untuk berbincang dari hati ke hati. Suatu ketika, si penebang pohon berkata kepada singa itu, “Sahabatku, tolong kamu agak menjauh. Mulutmu bau sekali sampai aku mau muntah dan tak bisa menelan makanan ini." Sang raja hutan sangat marah, bangkit, dan dengan ganas menyerang penebang pohon yang kurang ajar itu sehingga dia hampir mati. Anehnya, si penebang pohon dengan luka-luka di sekujur tubuhnya masih bisa pulang ke kampungnya.
Sekian bulan berikutnya, si penebang pohon sembuh, dan kembali bekerja menebang pohon di hutan setiap hari. Ketika waktu makan siang tiba, dia pergi ke tempat yang biasanya. Tak lama kemudian, sang singa berjalan gontai keluar dari hutan. Si penebang pohon berkata, "Aku senang sekali bisa bertemu lagi denganmu. Aku merindukanmu selama berbulan-bulan, selama aku tak bekerja. Lihatlah, tak ada luka di tubuhku. Seluruh lukaku sudah sembuh."
Sang singa menimpali dengan perasaan sedih. "Tapi, luka yang kuderita akibat lidahmu yang tajam masih mengucurkan darah. Kata-kata kasarmu masih terasa menyakitkan."
Cerita sampai, Fulan terbangun. Rupanya lelaki berbadan atletis itu tertidur di Sungai Siak, depan Istana yang tersohor itu. Tepatnya dekat tenggelam murid Sekolah Dasar beberapa hari lalu. “Kenapa saya  bermimpi ini,” Tanya Fulan dalam hati. Ingat punya ingat, rupanya
beberapa jam sebelum tidur, dia mendengar pejabat memarahi bawahannya. Kasar memang! Perkataan yang keluar tidak melegakan dan menyenangkan. Wahai Tuan! Seorang ulama klasik pernah berwasiat: "Sebelum Anda mengatakan sesuatu, tahanlah setiap kata Anda di ujung lidah. ‘Rasakanlah’ kata itu dengan sepenuhnya. Lalu, telan lagi dan pikirkan secara lebih mendalam. Lakukanlah latihan ini tiga kali. Setelah Anda merasa yakin, ucapkanlah kata itu. Itung-itung kita berlatih puasa bicara. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar