Selasa, 12 Juni 2012

Fulan Tersesat di Jalan yang Benar

(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN VOKAL, 5 NOVEMBER 2010)
Fulan tersesat. Sedihnya lagi dia tersesat di jalan yang benar! Tak tahu lagi kemana kaki mau dilangkahkan. Cahaya sepanjang jalan sudah redup. Matahari pun sudah tenggelam. Samar-samar pikiran anak muda ini.
Dia baru saja diajak jalan-jalan oleh anggota dewan. Jauh perjalanannya. Tak hanya raun-raun antar kota dalam negeri, melainkan keliling dunia. Setiap tiba di sebuah kota, setiap itu pula mereka makan. Makan bukan sembarang makan, melainkan menyantap yang enak-enak. Hua…betul-betul seperti surga! Journey is beautiful friend!
Seminggu bersenang-senang bersama wakil rakyat terhormat. Semua dibayarkan. Tak satu rupiah pun uang keluar dari kantong Fulan. Malah ketika berangkat Fulan sudah dikasih uang saku. Nilai nominalnya jutaan rupiah. Pulang pun ditambah lagi. Hmm…uang anggota dewan kawan!
Namun berselang tak lama sesampai di rumah, badan Fulan mulai agak pusing, mata berkunang-kunang dan badan sempoyongan. Alamak! “Inikah yang disebut mitos kutukan uang rakyat. Satu rupiah saja menikmati uang rakyat yang keberadaannya tak jelas, diri akan kena petaka. Kualat dikau Fulan,” pikir Fulan sembari mengata-gatai dirinya.
Kata Fulan, mitos itu tak ubahnya seperti kepercayaan warga Peru soal anak yang menyusu pada ibunya. Sang ibu korban perkosaa ketika Peru dilanda pergulatan politik dekade 1970-an. Tersebutlah seorang perempuan pendiam bernama Fausta. Sepanjang hidupnya, Fausta selalu dipenuhi kemurungan.
Menurut kepercayaan orang Peru, susu dari perempuan yang pernah diperkosa mengandung semacam kutuk. Anak yang meminum susu dari ibu itu akan menderita penyakit. Percaya atau tidak, Fausta kerap terjatuh dan mimisan. Dokter menyimpulkan bahwa Fausta menderita sebuah penyakit aneh yang jarang, tapi bisa diobati dengan operasi. Namun Fausta dan pamannya yang membesarkannya, tak punya uang. Lagi pula mereka lebih percaya penyakit itu disebabkan oleh kutuk jahat. Selain kepedihan, ibunda Fausta juga mewariskan semacam katarsis yang juga ia gunakan untuk dirinya setiap kali mengingat kemalangannya: bernyanyilah. Rekam kehidupan demikian ditampilkan dalam adegan film La Teta Asustada, atau dalam judul internasionalnya Milk of Sorrow.
Fausta merawat sang ibu yang tampak sedang sakit keras. Tak lama sang ibu meninggal dunia, yang justru di tengah persiapan pernikahan sepupu Fausta. Maka kedukaan Fausta berhadapan dengan suasana ceria yang sedang dibangun pelan-pelan dalam persiapan pernikahan.
Persiapan pernikahan ketika bertabrakan dengan kemiskinan keluarga Paman Fausta  melahirkan penggambaran tentang ambisi artifisial manusia, yang bagaimanapun absah saja kiranya dalam kacamata Claudia. Namun fakta mayat ibunda Fausta yang disimpan di bawah tempat tidur karena mereka sedang mengumpulkan uang untuk menyelenggarakan pernikahan yang layak, adalah sebuah kepedihan yang sama juga absahnya. Perhatikan adegan mencari peti mati sebagai sebuah karikatur yang pedih sekaligus menggelikan; atau juga bagaimana ketika lubang yang diniatkan menjadi makam cadangan ibu Fausta akhirnya menjadi kolam renang dadakan bagi seluruh keluarga. Hmm…betul-betul tentang kemiskinan, tragedi dan kepedihan, namun tak ada air mata yang perlu jatuh. Sebuah garapan perkara hidup yang sangat realistis sekaligus halus dan hangat.  Ketika sebuah kisah bicara tentang manusia, jelas ia bukan sebuah propaganda atau melodrama yang dangkal dan membosankan.
Lantas bagaimana dengan karma uang wakil rakyat Tuan? Lalu apa pula mau dikata dengan dana aspirasi anggota DPRD Riau yang nilainya Rp 2 M per orang? Akankah banyak Fulan-Fulan yang lain? Fulan yang pusing dan sakit kepala karena ikut menikmatinya? Atau Fulan-Fulan yang demam lantaran tak kebagian? He…he…he mitos kutukan Tuan! ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar