Selasa, 12 Juni 2012

Kemiskinan Mesti Dilestarikan Tuan!

(TULISAN INI DISEBARLUASKAN HARIAN VOKAL, 22 OKTOBER 2010)
Fulan lagi tak enak badan. Asap tebal menyelimuti langit Riau telah menyebabkan pernafasan lelaki berbadan atletis itu agak terganggu. Sering batuk-batuk sejak dua hari belakangan. Mata merah dan suara agak parau!
Dalam sakitnya, Si Fulan agak mengerutu. Dasar kabut! Dasar daerah yang setiap tahun menjadikan kebakaran hutan dan lahan gambut sebagai proyek. Pejabat seolah memelihara musibah demi mengalirnya rupiah demi rupiah ke kantong pribadi. Ada kebakaran, ada anggaran. Ada proyek, ada uang masuk. Titik!
Berselang tak lama, Fulan membaca berita soal kemiskinan. Yang miskin itu rupanya banyak yang tamat sekolah dasar. Sekolah rendah, kehidupan papa. Pendidikan tak memadai, ekonomi lemah.
Dua hal itu harus dipisahkan. Orang yang berpendidikan rendah tak boleh dibiarkan tinggal di kantong-kantong kemiskinan. Harus dipisahkan. Harus diberi kesempatan. Kalau tidak, bisa Tuhan pula diingkarinya nanti. Gawatkan!
Perkara asap belum selesai diinap-menungkan, Fulan melompat pula ke perkara kemiskinan. Memang dasar Fulan. Yang satu belum selesai, sudah beralih ke yang lain. Namun menurut Fulan, soal hubungan kemiskinan dengan pendidikan seperti kisah seorang pemulung berjalan-jalan di tengah tumpukan sampah. Di tengah-tengah barang bekas tersebut, ia menemukan sebuah pengaduk besi yang sudah tua dan berkarat. Sang pemulung kemudian memungut dan kemudian meletakkannya di dalam tasnya. Kemudian ia pun berjalan lagi dan di dekat tempat ia menemukan pengaduk besi tadi, ia menemukan sebongkah garam dapur yang sudah sangat kotor. Kemudian ia pungut dan  masukkan garam itu ke dalam tasnya juga. Di dalam tas si pemulung tersebut, garam dan pengaduk besi menjadi akrab. Mereka saling mengenal dan mengasihi satu sama lain, saling berbagi rasa, dan saling sharing tentang perjalanan mereka selama ini
Sesampainya di rumah, si pemulung mengamplas pengaduk besi sehingga mengkilap. Pengaduk besi bertambah bernilai lagi tatkala dilumuri dengan minyak. Setelah begitu bagus, petani meletakkannya di tempat perkakas. Sedangkan bongkahan garam dapur ia bersihkan dari kotoran yang menempel dan kemudian mencucinya sebentar dan meletakkannya di tempat bumbu dapur.
Pengaduk besi dan garam dapur sangat bersedih hati. Mereka yang sudah akrab merasa dipisahkan oleh si pemulung. Mereka menganggap si pemulung kejam karena telah memisahkan mereka. Dan mereka pun sepakat akan protes kepada si pemulung.
Akhirnya si pemulung mendengar protes kedua benda tersebut. Besi berkata “Tuanku, mengapa engkau memisahkan aku dari garam dapur. Ia sahabat sejatiku.” Garam dapur pun protes serupa: “Tidakkah sangat kejam Tuan. Aku menyayangi pengaduk besi sahabatku. Mengapa engkau memisahkan kami?”
 “Hei pengaduk besi dan garam dapur. Tidak tahukah kalian bahwa jika kalian bersatu terlalu lama akan saling merusak satu sama lain. Tidak tahukah kalian bahwa garam dapur akan larut oleh uap air dan membentuk air garam. Air garam dapat bereaksi dengan besi dan menimbulkan karat kemudian karat itu akan mengotori kalian semuanya. Aku akan menyatukan kalian lagi saat aku memasak, kemudian aku akan membersihkan kalian lagi.”
Di ujang renung, Fulan baru sadar. Lain pemulung, tak sama pula dengan pemerintah di Riau. Pemerintah di daerah ini menyatukan kemiskinan dengan rendahnya pendidikan. Kantung-kantung kemiskinan nyaris tak berkurang dan malah terkesan dilestarikan. Orang miskin mudah diiming-iming. Orang rendah pendidikan tak sulit dikibuli.
Hutan terbakar dan kabut asap menyesakkan dada, keadaan itu tak akan memicu protes masyarakat. Mereka miskin dan papa. Cukup kasih sekarung beras saja. Selesai perkara. “Mudah kan,” kata Fulan dalam hatinya sembari batuk-batuk. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar