Selasa, 12 Juni 2012

Teman Fulan Berniat Menyuap

(TULISAN INI DIPUBLIKASI HARIAN VOKAL, 3 NOVEMBER 2010)
Fulan kedatangan teman. Seorang sahabat dari pulau seberang. Negeri Sembilan namanya. Lama tak bersua, rasa kangen membuncah. Layaknya orang berkawan, suasana akrab dan rindu terlihat jelas.
Namun di tengah asyik-asyiknya, sang teman membuka kisah sebagai ditulis Imam Al Ghazali. Tersebutlah seorang yang sudah bertahun-tahun menjadi muazin di sebuah menara tinggi di samping masjid. Kebetulan di samping rumah Tuhan itu adapula sebuah rumah yang ternyata dihuni oleh keluarga non muslim. Di antara anak-anak keluarga itu ada seorang anak perempuan berparas cantik yang sedang berangkat ramaja.
Tiap naik menara untuk azan, secara tidak disengaja tatapan mata sang muazin selalu tertumbuk pada si anak gadis yang dimaksud. Begitu pula ketika turun dari menara. Seperti pepatah mengatakan dari mata turun ke hati. Begitulah berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun kejadiannya. Saking seringnya memandang, hati sang muazin pun mulai terpaut akan paras cantik anak gadis itu. Bahkan saat azan yang diucapkan di mulut, tapi hatinya malah khusyuk memikirkan sang gadis.
Karena sudah tidak tahan lagi, maka sang muazin pun nekad mendatanginya. Maksud hati ingin melamarnya. Hanya sayang, orang tua si anak gadis menolak dengan mentah-mentah, apalagi jika anaknya harus pindah keyakinan karena mengikuti agama calon suaminya, sang muazin yang beragama Islam itu. "Selama engkau masih memeluk Islam sebagai agamamu, tidak akan pernah aku izinkan anakku menjadi istrimu," ujar si bapak, seolah-olah memberi syarat agar sang muazin ini mau masuk agama keluarganya terlebih dulu.
Berpikir keraslah sang muazin. Hanya sayang, saking ngebetnya pada gadis, pikirannya seakan sudah tidak mampu lagi berpikir jernih. Hingga akhirnya di hatinya terbersit suatu niat, "Ya Allah saya ini telah bertahun-tahun azan untuk mengingatkan dan mengajak manusia menyembah-Mu. Aku yakin Engkau telah menyaksikan itu dan telah pula memberikan balasan pahala yang setimpal. Tetapi saat ini aku mohon beberapa saat saja ya Allah, aku akan berpura-pura masuk agama keluarga si anak gadis ini, setelah menikahinya aku berjanji akan kembali masuk Islam". Baru saja dalam hatinya terbersit niat, dia terpeleset jatuh dari tangga menara masjid yang cukup tinggi itu. Akhirnya sang muazin pun meninggal dalam keadaan murtad dan suul khatimah.
Terhenyak Fulan mendengarnya. Badannya mengigil. Entah kenapa? Tak lama Fulan bersuara. “Jangan-jangan kawanku akan mengalami nasib yang sama Tuhan,” kata Fulan.
Sang teman heran. “Siapa teman yang ada maksud wahai sobat?” tanya sang kawan.
Fulan mulai bercerita, ada seorang aktivis masjid. Dia baru saja diwisuda. Seiring dengan itu, terbetik pula kabar ada penerimaan CPNS tahun ini. Karena desas-desus yang beredar, bahwa supaya lulus, harus ada uang sejumlah uang disediakan. “Hmm…kawanku itu sudah menyediakan uang. Malah ratusan juta rupiah. Di sisi lain, di penggerak kegiatan masjid. Rajin salat, mengaji dan berbuat baik,” katanya.
Teman dari seberang itu terdiam sejenak. Lantas meluncur kalimat. Banyak orang hari ini mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Ketika zikir pun biasanya selalu dihayati, sekarang justru antara apa yang diucapkan di mulut dengan suasana hati, sama sekali bak gayung tak bersambut. Mulut mengucap, tapi hati malah keliling pada perkara  suap. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar